korannews.com – Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) mengungkapkan, saat ini anggotanya sedang giat membangun industri petrokimia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku plastik dalam negeri yang saat ini masih net impor, dengan nilai sebesar 2,8 miliar dollar AS per tahun.
Di sisi lain, dalam rangka memperkuat daya saing terhadap produk impor, saat ini tengah dibangun tiga mega proyek petrokimia oleh PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, PT Lotte Chemical Titan Nusantara dan PT Pertamina sejak tahun 2022-2027 dengan total nilai investasi sebesar 18 miliar dollar AS.
Namun pemerintah juga berencana membangun industri petrokimia di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI), Kalimantan Utara dengan nilai investasi 56 miliar dollar AS.
Ketua umum Inaplas, Suhat Miyarso mengatakan, upaya-upaya pengembangan industri petrokimia tersebut terancam dikarenakan adanya posisi Indonesia untuk melakukan pengurangan produksi plastik virgin sebagai upaya pengendalian polusi sampah plastik yang disampaikan ke Sekretariat Intergovernmental Negotiation Committee (INC) yang dibentuk oleh UNEP berdasarkan mandat dari Resolusi UNEA 5/14.
“Dengan program pengembangan industri petrokimia yang terancam, berpotensi untuk memberikan dampak turunan lainnya. Di antaranya menghilangkan potensi serapan tenaga kerja hingga 3,2 juta orang melalui rencana beberapa mega proyek pembangunan industri Petrokimia tersebut,” ujarnya dalam siaran persnya, Jumat (21/4/2023).
“Ditambah lagi akan mengurangi serapan tenaga kerja dari kegiatan daur ulang plastik paska penggunaan saat ini. Berdasarkan data Sustainable Waste Indonesia (2021), kegiatan daur ulang plastik telah melibatkan 57.500 tenaga kerja dan 1.370 UMKM,” sambung Suhat.
Lebih lanjut Suhat mengatakan, posisi Indonesia tersebut secara prinsip tidak tepat sasaran. Hal tersebut dikarenakan konsumsi plastik Indonesia masih lebih kecil dibandingkan dengan negara lainnya. Sedangkan plastik sangat diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti kemasan makanan minuman, peralatan rumah tangga, infrastruktur, otomotif, dan banyak kebutuhan lainnya.
“Produksi plastik Indonesia juga telah memenuhi Standar Nasional SNI, BPOM, halal, ekolabel, serta standar internasional ISO dan FDA, sehingga aman untuk konsumen dan juga lingkungan. Dari sisi dampak terhadap lingkungan, plastik memiliki dampak yang lebih baik terhadap perubahan iklim, pengasaman, eutrofikasi, dan penipisan lapisan ozon dibandingkan dengan material lainnya (United Nations Environment Programme, 2020),” kata Suhat.
Merujuk pada hal-hal di atas, ia berharap agar pemerintah dapat merevisi dan mengkaji kembali posisi Indonesia yang disampaikan kepada Sekretariat INC dengan berfokus pada peningkatan pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular, pola konsumsi berkelanjutan dan bertanggung jawab, perubahan perilaku masyarakat, serta mendorong penerapan desain ramah lingkungan.
“Hal tersebut dilakukan agar selaras dengan upaya pertumbuhan industri petrokimia nasional untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan mengurangi angka impor bahan baku plastik. Selain itu, diharapkan agar pemerintah segera menyusun Plastic Value Chain dengan memperhatikan kebijakan pemerintah terkait Pengembangan Industri Petrokimia, yang selanjutnya dituangkan pada Rencana Aksi Nasional (RAN) dengan melibatkan pemangku kebijakan terkait,” pungkas Suhat.