“Exequatur” Putusan Arbitrase Ekonomi Syariah

“Exequatur” Putusan Arbitrase Ekonomi Syariah

korannews.com – iatan bisnis di sektor ekonomi syariah kian berkembang seiring masifnya kampanye, terutama di media sosial, yang dilakukan para pelaku usaha yang juga digeluti selebritas di Tanah Air. Bisnis berbasis syariah di kategori halal food, fashion, media dan rekreasi, muslim friendly travel, kosmetik, dan farmasi, islamic finance, kini seolah menjadi tren di kalangan para pelaku usaha termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Apalagi sejak 30 November 2021 pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan kesiapannya untuk wujudkan Indonesia sebagai pusat produsen halal dunia.

Meski menjadi sektor yang terdampak akibat pandemi Covid-19, menurut catatan pemerintah sektor ekonomi syariah mampu menunjukkan kinerja positif sepanjang 2020-2021. Dua sektor, yakni pertanian dan makanan halal, menjadi sumber yang menyumbang pertumbuhan ekonomi syariah paling tinggi di Indonesia.

Dibanggakan pemerintah

Berdasarkan data State of the Global Islamic Economy Report 2020-2021, ekonomi syariah Indonesia berada di posisi ke empat dengan total aset keuangan syariah Indonesia mencapai 99 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Indonesia menjadi negara ke-7 dengan total aset keuangan syariah terbesar di dunia. Saat pembukaan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) Ke-9 Tahun 2022 di Jakarta Convention Centre pada 06 Oktober ini, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa peringkat ekonomi dan keuangan syariah Indonesia di tingkat global saat ini semakin menguat dan telah memberi daya dukung bagi stabilitas ekonomi nasional, karena teruji dalam melewati siklus ekonomi.

Wapres juga sangat membanggakan sektor ekonomi syariah karena dapat diandalkan dalam menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan yang bertumpu pada sektor riil.

Kebanggaan pemerintah itu tampaknya akan diuji ulang, apakah ekonomi syariah akan mampu melewati kondisi perekonomian global yang semakin menantang.

Pasalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini mengatakan, perekonomian global sedang berada dalam kondisi yang berbahaya. Inflasi yang tinggi, krisis energi dan pangan, perubahan iklim, serta konflik geopolitik menjadi penyebab utamanya.

Pernyataan Menkeu tersebut tentu menjadi warning bagi para pelaku usaha di sektor ekonomi syariah, karena tidak menutup kemungkinan kegiatan bisnis mereka akan mengalami masalah yang cukup serius seperti timbulnya sengketa dengan partner bisnis.

Pelaku usaha sebaiknya mempersiapkan sedari dini kemungkinan tersebut, antara lain dengan menyiapkan strategi bisnis agar tidak terdampak resesi, termasuk memilih forum penyelesain sengketa yang “bersahabat” dengan bisnisnya.

Penyelesaian sengketa

Dalam sistem hukum nasional, sengketa di sektor ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Hal itu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

UU itu menyebutkan: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah”.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa ekonomi syariah yang dimaksud dalam ketentuan tersebut merupakan suatu perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.

Perbuatan atau kegiatan itu antara lain: a. bank syariah; b. lembaga keuangan mikro syariah. c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksa dana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah.

Namun tidak setiap sengketa diselesaikan melalui jalur litigasi, apalagi forum litigasi peradilan yang bersifat terbuka kurang cocok dengan karakter pelaku usaha yang harus menjaga “nama baik” di mata konsumen.

Terbukanya konflik antar pelaku usaha ke publik tentu berpotensi memengaruhi iklim bisnis mereka, hal ini jelas akan sangat merugikan. Pelaku usaha cenderung menginginkan jika sengketa bisnis mereka dapat diselesaikan secara tertutup, sehingga adanya konflik di antara mereka tidak akan berdampak pada kegiatan bisnisnya.

Karakter ini sangat dipahami oleh otoritas pembuat kebijakan. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit telah mengakomodir keinginan pelaku usaha tersebut.

Melalui ketentuan Pasal 58, para pelaku usaha dimungkinkan untuk melakukan upaya penyelesaian sengketa perdata/perdagangan di antara mereka dapat dilakukan di luar pengadilan. Dapat melalui forum arbitrase ataupun forum alternatif penyelesaian sengketa seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Dari semua alternatif penyelesaian sengketa non-litigasi, arbitrase menjadi forum yang banyak digunakan oleh pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketanya.

Confidentiality, efisiensi waktu, putusan yang bersifat final & binding, serta Party Autonomy yang memberikan hak kebebasan kepada para pihak untuk menentukan choice of law termasuk memilih arbiter yang dinilai kompeten dan memahami sengketa mereka, sehingga putusan yang dihasilkan diharapkan akan memenuhi kepentingan hukum masing-masing pihak.

Di Indonesia terdapat dua jenis forum penyelesaian sengketa arbitrase, yaitu ada yang bersifat ad hoc dan ada yang institusional/kelembagaan. Arbitrase ad hoc tidak terikat dengan otoritas administratif dan prosedur yang harus dipatuhi para pihak. Semua aturan arbitrase ditentukan berdasarkan keinginan dari masing-masing pihak.

Sementara arbitrase institusional adalah kebalikan dari arbitrase ad hoc. Aturan prosedur berarbitrase ditentukan secara baku oleh otoritas lembaga arbitrase. Oleh karenanya para pihak harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang telah dibuat tersebut.

Saat ini cukup banyak lembaga arbitrase yang dikelola secara institusional baik domestik maupun internasional, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS-MUI), International Chamber of Commerce (ICC International Court Arbitration), dan Singapore International Arbitration Centre (SIAC).

Bahkan di sektor jasa keuangan sendiri terdapat sejumlah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) arbitrase yang terdiri dari Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), Badan Mediasi Pembiayaan dan Pergadaian Indonesia (BMPPI), dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK).

Sama halnya dengan sengketa bisnis lain, sengketa perdata di sektor ekonomi syariah dapat pula diselesaikan melalui forum arbitrase.

Oleh karenanya para pihak tidak melulu membawa sengketa mereka ke Pengadilan Agama. Apalagi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwa di sektor ekonomi syariah kerap kali mencantumkan lembaga arbitrase selain Pengadilan Agama yang direkomendasikan jika sengketa yang timbul tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat.

” Exequatur ” putusan

Para pelaku usaha ekonomi syariah yang telah menetukan choice of law dan choice of forum penyelesaian sengketa secara institusional, dituntut untuk tunduk dan patuh terhadap aturan dan prosedur administratif lembaga arbitrase.

Para pihak juga harus patuh terhadap putusan arbitrase yang telah diputus oleh arbiter, karena putusan arbitrase bersifat final dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum berjenjang mulai dari banding, kasasi, maupun peninjauan kembali sehingga cepat berkepastian hukum.

Akan tetapi, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang patut diduga mengandung unsur-unsur: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. (vide Pasal 70 UU Arbitrase).

Lalu kemana putusan arbitrase di sektor ekonomi syariah didaftarkan? Ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama?

Sebelumnya, harus ada sesuatu yang khas dari arbitrase yang membedakannya dengan aroma lembaga peradilan, seperti yang selama ini telah dikenal antara lain jika di pengadilan konflik para pihak disebut perkara, di arbitrase disebut dengan istilah sengketa.

Kewenangan hakim peradilan memeriksa, memutus, dan mengadili, sementara di arbitrase tugas arbiter hanya memeriksa dan memutus, tidak memiliki kewenangan untuk mengadili.

Dalam putusan arbitrase juga sebaiknya mencantumkan teori hukum dan pendapat hukum yang berkaitan dengan sengketa, sehingga produk berupa putusan merupakan pendapat hukum arbiter yang memang expert di bidang tersebut.

Setelah memeriksa sengketa para pihak, arbiter akan mengeluarkan putusan yang kemudian putusan tersebut harus diregistrasi di pengadilan tempat domisili termohon supaya memiliki kekuatan eksekutorial.

Menurut SUT Girsang, SH putusan arbitrase tidak dengan sendirinya mempunyai kekuatan eksekuatorial. Karena itu, terhadap suatu putusan arbitrase yang berisi penghukuman, pihak yang dinyatakan benar (menang) dapat minta exequatur pada Ketua Pengadilan Negeri (President der Rechtbank) (pasal 1062 Rv).

Exequatur adalah tindakan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan executoriale titel pada putusan arbitrase. Dengan itu putusan tersebut dapat dilaksanakan, bila perlu dengan bantuan alat negara.

Exequatur ini dapat berupa cap yang dibubuhkan di atas putusan arbitrase atau penetapan tersendiri (aparte beschikking). Namun dalam sengketa ekonomi syariah, dari berbagai literatur peraturan perundang-undangan yang ada, sampai saat ini masih mempertahankan “pasal-pasal usang” untuk mengatur terkait exequatur putusan arbitrase.

Seperti ketentuan bahwa putusan arbitrase didaftarkan di Pengadilan Negeri sebagaimana ketentuan Pasal 59 (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS jo Pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Padahal sengketa sektor ekonomi syariah merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang seharusnya dapat diakomodir dalam Undang-undang Arbitrase dan APS yang baru.

Apalagi kini semakin berkembang pesat, tentu membutuhkan aturan hukum yang tidak rancu dalam rangka mendukung dan mengembangkan bisnis di bidang tersebut. Saat ini, mekanisme agar putusan arbitrase syariah mendapat eksekuatorial lembaga yang berwenang hanya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung, bukan diatur dengan Undang-undang.

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 14 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah memberikan pedoman bahwa pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Kemudian mengenai pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, juga dilakukan oleh Pengadilan Agama.

Akan tetapi, lagi-lagi Perma itu pun masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenai tata cara pelaksanaan putusan, yang mana dalam UU tersebut masih menggunakan frasa Pengadilan Negeri sebagai lembaga yang berwenang memberikan exequatur terhadap putusan arbitrase.

Dengan kewenangan dan fungsi mengatur yang diberikan undang-undang pada Mahkamah Agung, sebaiknya Perma tersebut juga mengatur secara komprehensif mengenai ketentuan-ketentuan arbitrase di sektor ekonomi syariah, tanpa merujuk lagi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Arbitrase dan APS.

Pengaturan tersebut sangat dimungkinkan karena Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).

Mahkamah Agung juga dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

Seharusnya celah ini menjadi solusi agar arbitrase di sektor ekonomi syariah memiliki payung hukum yang jelas dan menyeluruh. Karena kita belum tahu kapan UU Arbitrase dan APS yang sudah berlaku sejak 23 tahun yang lalu itu akan direvisi dan mengakomodir keberadaan arbitrase ekonomi syariah di dalamnya.

Exit mobile version