Cara Kakek Nabi Redam Sengketa Kabah

Cara Kakek Nabi Redam Sengketa Kabah

Cara Kakek Nabi Redam Sengketa Kabah

Makkah: Semenjak Nabi Ibrahim dan Ismail As membangun ka’bah, Kota Makkah menjelma primadona yang membuat siapa pun ingin menguasainya. Silih berganti suku yang datang, berusaha merebut Tanah Suci dengan kekerasan.
 
Hingga hadirlah generasi bernama Quraisy. Melalui tokoh bernama Abdul Muthalib, Makkah pun berubah wajah menjadi negeri yang gemar bermusyawarah.

Takluknya Jurhum dan Khuza’ah

Sepeninggal Nabi Ibrahim dan Ismail, Tanah Suci diambil alih Bani Jurhum selama 300 tahun. Alih-alih menempatkan ka’bah sebagai amanah, suku ini malah menjadikannya sebagai sapi perahan.
 
Masing-masing dari mereka sibuk memupuk kekayaan melalui pajak yang disasar kepada para pedagang dan jemaah yang hendak memuliakan ka’bah.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Jurhum dikenal sebagai kelompok ahli perang. Hal itu terbukti dengan tumbangnya setiap suku yang datang menyerang dan bermaksud merebut kekuasaan. Hingga akhirnya, sebuah banjir besar memusnahkan mereka. Setelahnya, kekuasaan Kota Makkah beralih ke ke tangan Suku Khuza’ah.
 
Ahmad bin Abi Ya’qub Ishaq bin Ja’far dalam Tarikh al Ya’qubi (2011) menjelaskan, tingkah Suku Khuza’ah tak jauh beda dari pendahulunya. Bahkan, penguasa baru inilah yang pertama kali membawa tradisi pemujaan berhala ke wilayah ka’bah dan menjerumuskan masyarakat Makkah kepada kesesatan.
 
“Kisah itu bermula ketika Amru bin Luhai, pemimpin Khuza’ah di Makkah, sering melakukan perjalanan berobat ke Kota Balqa’ di Syam. Di sana, ia melihat penduduk kota menyembah berhala, lalu membawa salah satunya untuk diletakkan di sekitar ka’bah,” tulis al Ya’qubi.

Setelah berhasil menguasai ka’bah selama lima abad, akhirnya Suku Khuza’ah takluk di tangan Kabilah Quraisy yang masyhur sebagai keturunan pendiri ka’bah. Sejak berada di tangan generasi ini, Makkah terus dikembangkan menjadi kota yang ramah.

Pembagian wewenang

Melalui kecerdasan dan kekuatan petingginya, Qushay bin Kilab, Suku Quraisy berhasil menerbitkan kebijakan untuk kembali memberi tempat kepada pengikut ajaran Ibrahim.
 
Secara pelan-pelan, Qushay juga meruntuhkan kepercayaan mutlak masyarakat terhadap berhala menjadi sekadar sebuah perantara.
 
“Berhala cuma dimaknai sebagai perantara menuju Allah,” tulis al Ya’qubi, masih dalam kitab yang sama.
 
Setelah Quraisy berkuasa sekian lama, timbullah perpecahan di tubuh mereka. Internal Quraisy diwarnai perselisihan antara Bani Abdud Dar dan Bani Abdu Manaf. Padahal, keduanya sama-sama keturunan dari Qushay ibn Kilab.
 
Dalam rangka menengahi perseteruan itu, menurut Imam ath Thabari dalam kitabnya, Tarikh al Umam wa al Muluk (2011), dikenallah tokoh Bani Abdu Manaf bernama Abdul Muthalib. Sosok yang merupakan kakek dari Nabi Muhammad Saw itu mencetuskan sistem kepemimpinan baru melalui musyawarah pembagian kekuasaan.
 
“Perebutan kepemimpinan Makkah akhirnya bisa diselesaikan tanpa peperangan. Mereka lebih sepakat untuk membagi kekuasaan. Urusan penyediaan air dan pelayanan akomodasi haji diserahkan kepada Bani Abdu Manaf, sementara di bidang politik keamanan, seperti pemegang kunci ka’bah dan bendera perang diserahkan kepada Bani Abdud Dur,” tulis ath Thabari.
 
Pembagian tersebut bukan asal-asalan. Suku Quraisy, sebelumnya menimbang dengan detail bahwa kewenangan penyediaan air dilimpahkan kepada Bani Abdu Manaf karena sudah dikenal andal dalam pengelolaan bidang terkait. Pun sebaliknya, Bani Abdud Dur dinilai cakap dalam strategi pertempuran.

Rumah demokrasi

Meskipun pembagian tanggung jawab sudah dilakukan, hal itu tidak serta merta mematikan potensi perselisihan di generasi selanjutnya. Ketika Abdul Muthalib kian disepuhkan, konflik antarsuku masih selalu mengancam. Terlebih, di saat bersentuhan dengan urusan dagang.
 
“Khususnya, kafilah musim panas dan musim dingin yang menjadi sumber pendapatan terpenting mereka,” tulis ath Thabari.
 
Melihat itu, Abdul Muthalib memutar otak untuk mewujudkan cita-citanya mengkondisikan Makkah sebagai kota yang damai. Tradisi bermusyawarah pun kemudian dilembagakan dengan nama Dar an Nadwah.
 
Guru Besar Sejarah Islam di ‘Ain Shams University Kairo, Mesir, Ali Husni Al Kharbuthli, dalam Tarikh al Ka’bah (2004) menuliskan, Dar an Nadwah merupakan wujud dari gagasan Abdul Muthalib yang lebih gemar memilih jalur musyawarah dan damai ketimbang kekerasan.
 
“Nilai-nilai yang ditanamkan Abdul Muthalib inilah yang mengubah sistem politik kaum Quraisy cenderung demokratis. Hal ini, tercermin dari adanya Dar an Nadwah yang fungsinya mirip gedung parlemen modern saat ini,” tulis Ali.
 
Sejak Dar an Nadwah didirikan, angka perseteruan dan peperangan antarsuku dalam memperebutkan hak pengelolaan kakbah pun, relatif bisa ditekan.

 

(ADN)


Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!