korannews.com – Jakarta Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan data prediksi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara di dunia. Indonesia tercatat pada posisi ketiga untuk kategori tersebut, di bawah India dan Filipina.
Mengacu data yang dimuat dalam World Economic Outlook IMF per Oktober 2022, Indonesia masuk dalam kategori hijau soal proyeksi pertumbuhan ekonomi. Tabel memperlihatkan Indonesia dalam kategori hijau.
Enam+
IMF memprediksi kalau ekonomi Indonesia bakal tumbuh sebesar 4,97 persen di 2023. Angka ini berada di bawah India yang ekonominya diprediksi tumbuh 6,06 persen, dan Filipina yang ekonominya diprediksi tumbuh 5,02 persen di 2023.
Selanjutnya, di posisi keempat ada China yang diprediksi tumbuh 4,44 persen, diikuti Kazakhstan yang diproyeksi tumbuh 4,39 persen. Lalu, di posisi selanjutnya ada Malaysia dan Mesir yang sama-sama diprediksi tumbuh 4,38 persen di 2023.
Kemudian, Thailand diprediksi tumbuh 3,71 persen, Arab Saudi diprediksi tumbuh 3,67 persen, Pakistan diprediksi tumbuh 3,50 persen, Turki diprediksi tumbuh 3,03 persen, serta Nigeria yang diprediksi tumbuh 3,00 persen.
Selanjutnya, ada 3 negara yang diprediksi mengalami pertumbuhan sekitar 2 persenan. Yakni, Iran dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 2,05 persen, Korea dengan proyeksi pertumbuhan 2,04 persen, dan Argentina diproyeksi tumbuh 2,02 persen.
Lalu, ada 8 negara yang diproyeksi tumbuh sekitar 1 persenan. Diantaranya, Australia diprediksi tumbuh 1,89 persen, Jepang diprediksi tumbuh 1,61 persen, Kanada diprediksi tumbuh 1,45 persen, Spanyol diprediksi tumbuh 1,21 persen.
Diikuti dengan Meksiko yang diprediksi tumbuh 1,15 persen, Afrika Selatan diprediksi tumbuh 1,10 persen, Brazil diprediksi tumbuh 1,03 persen, dan Amerika Serikat diprediksi tumbuh 1,00 persen.
Beberapa negara sisanya diprediksi tumbuh sekitar 0,3-0,8 persen. Bahkan, sedikit negara juga diprediksi masih terkontraksi dengan pertumbuhan negatif.
Belanda diprediksi tumbuh 0,80 persen, Perancis dipreidksi tumbuh 0,66 persen, Polandia diprediksi tumbuh 0,49 persen, Inggris diprediksi tumbuh 0,32 persen.
Ada 3 negara lain yang diprediksi tumbuh negatif. Yakni, Italia diprediksi terkontraksi -0,17 persen, Jerman -0,29 persen, dan Rusia -2,28 persen.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pertumbuhan Ekonomi Melambat Karena Perang
Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral Kemenko Perekonomian Ferry Ardiansyah mengungkap kalau pertumbuhan ekonomi global melambat akibat dari perang Rusia-Ukraina. Ini menambah kendala dalan rantai pasok globalnyang terimbas pandemi covid-19 sebelumnya.
“Kita tahu perang di ukraina telah menyebabkan tekanan inflasi yang tinggi dan terus menerus mempengaruhi harga komoditas, kebijakan moneter yang lebih ketat dan gejolak pasar keuangan di banyak negara berkembang,” kata dia dalam Inspirato Sharing Session ditulis Sabtu (29/10/2022).
Menurut data yang dimilikinya, IMF merevisi pertumbuhan ekonomi global hanya berkisar 3,2 persen di 2022 dan 2,7 persen di 2023. Hal yang sama dilakukan OECD yang memprediksi pertumbuhan ekonomi global hanya 3 persen di 2022 dan 2,2 persen di 2023.
“Revisi ini terutama karena tekanan inflasi yang tinggi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa dengan pasokan yang berkelanjutan dan perlambatan ekonomi Tiongkok,” paparnya.
Enam+
Indonesia Optimis Tumbuh Diatas 5 Persen
Pemerintah optimis bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen pada tahun 2022 dan 5,3 persen pada tahun 2023 mendatang dapat tercapai.
Terlihat jika ekonomi Indonesia tetap mampu tumbuh di atas 5 persen selama 3 kuartal secara berturut-turut di tengah tingginya ketidakpastian global akibat adanya The Perfect Storm.
Capaian tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan yang relatif lebih baik dibandingkan sejumlah negara lain.
Prospek ekonomi nasional juga terlihat cerah yang tercermin dari berbagai leading indicators yang berada di jalur ekspansif.
Untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi, Pemerintah terus melakukan strategi dan kebijakan utama dalam penanganan pandemi, yakni dengan koordinasi kebijakan fiskal sebagai shock absorber termasuk melanjutkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 455,6 triliun yang berfokus pada penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat, dan penguatan pemulihan ekonomi.
Ini diungkapkan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso secara virtual dalam acara Inspirato Sharing Session Liputan6 dengan tema “Sherpa track G20: Mampukah Percepat Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Indonesia”, Jumat (28/10/2022).
“Dalam jangka panjang, untuk mencapai pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, grand strategy yang akan dilanjutkan di tahun 2023 adalah mendorong kembali reformasi struktural, salah satunya melalui implementasi UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya terutama terkait dengan penyederhanaan dan kemudahan di dalam proses perizinan, dan perluasan berbagai bidang usaha untuk investasi,” ungkap dia.
Enam+
Arsitektur Sistem Perekonomian Masa Depan
Sesmenko Susiwijono juga mengatakan bahwa dalam komunitas global, termasuk G7 dan G20, saat ini mulai menggambarkan arsitektur sistem perekonomian di masa depan.
Negara-negara tersebut mendedikasikan berbagai sumber daya untuk mengeksplorasi respons yang efektif terhadap krisis, dan ini merupakan peran penting Indonesia sebagai Presidensi G20.
“Melalui tema “Recover Together, Recover Stronger” Indonesia akan mengedepankan pentingnya kerja sama dan kolaborasi dalam upaya pemulihan agar tidak ada orang, negara, atau wilayah yang tertinggal.
Leave no one behind. Indonesia mendukung penggalangan kerja sama ekonomi multilateral, membuka jalan bagi stabilitas perekonomian dunia, dan memfasilitasi suasana kondusif untuk pemulihan ekonomi dunia yang berkelanjutan terutama pada masa pasca pandemi ini,” ujar Sesmenko Susiwijono.
Forum G20 memiliki dampak yang signifikan untuk pemulihan ekonomi melalui tiga pendekatan utama yaitu penguatan kerja sama multilateral, concrete deliverables sebagai aksi nyata, dan penetapan arah untuk kebijakan ekonomi dan keuangan ke depan.
Dalam hal penguatan kerja sama multilateral, dengan adanya eskalasi tensi geopolitik, menyebabkan kesulitan dalam menjaga dialog antarnegara.