korannews.com – Rombongan diplomat Indonesia dan konvoi pejabat Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ( ASEAN ) diberondong peluru ketika membawa bantuan kemanusiaan di negara bagian Shan, Myanmar .
Kendati belum jelas pihak yang bertanggung jawab atas penembakan rombongan tersebut, Perdana Menteri Bayangan Myanmar , NUG Mahn Win Khaing Than, menuding junta militer bertanggung jawab atas penyerangan itu.
“Serangan terhadap konvoi di Negara Bagian Shan yang dianggap dilakukaan oleh PDF (Pasukan Pertahanan anti Junta) oleh militer Myanmar itu tidak masuk akal,” kata Than pada Senin, 8 Mei 2023.
Negara bagian terbesar di Myanmar itu merupakan wilayah yang dijaga ketat oleh militer dan pasukan Organisasi Revolusioner Etnis (ERO).
“Para diplomat berkunjung untuk menemui para pengungsi perang. Hanya mereka yang takut kebenaran terungkap yang harus disalahkan,” kata Than.
Menanggapi aksi penyerangan terhadap rombongan kemanusiaan itu, Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) menegaskan bahwa aksi tersebut tidak dapat ditolelir dan mengecam penyerangan terhadap diplomat ASEAN .
“Yang ingin saya tegaskan bahwa hal ini tidak akan menyurutkan tekad ASEAN dan Indonesia untuk menyerukan kembali penghentian kekerasan. Stop using force. Stop violence (Hentikan pengerahan pasukan, hentikan kekerasan),” kata Jokowi dalam keterangan pers di lokasi KTT ke-42 ASEAN di Hotel Meruorah Komodo Labuan Bajo.
Dikatakan Jokowi , penggunaan kekerasan dan pengerahan pasukan hanya akan menjadikan rakyat sebagai korban dari situasi tersebut.
“Kondisi ini tidak akan membuat siapa pun menang. Saya mengajak marilah kita duduk bersama, ciptakan ruang dialog untuk mencari solusi bersama,” sebutnya.
Hingga kini, Junta Militer Myanmar belum memberikan keterangan resmi mengenai insiden penembakan terhadap rombongan diplomat Indonesia dan ASEAN .
Sebelumnya, situasi di Myanmar semakin memanas karena kekerasan yang makin meningkat dan menyebar luas, disertai serangan oposisi yang terkoordinasi. Dalam waktu singkat, negara ini berubah dari pemberontakan menjadi perang saudara.
Menurut data kelompok pemantau konflik, Acled, kekerasan telah menyebar ke seluruh negeri. Laporan lapangan juga menunjukkan bahwa pertempuran semakin terorganisir dan bahkan mencapai pusat kota, di mana sebelumnya tidak pernah terlihat perlawanan bersenjata terhadap militer.
Acled memperkirakan bahwa sekitar 12.000 orang telah meninggal akibat kekerasan politik sejak kudeta pada 1 Februari 2021, berdasarkan pemberitaan media lokal dan laporan lainnya. Namun, sulit untuk memverifikasi jumlah korban sebenarnya.***