korannews.com – Diky Kurniawan, pria asal Jawa Tengah, masih ingat kala terdiagnosis tuberkulosis (TB) beberapa waktu silam. Awalnya dia mengira hanya mengalami batuk biasa. Namun, perlahan nafsu makannya berkurang dan muncul keringat saat malam. Berat badan dia pun menurun.
Dia merasa ragu lalu pergi memeriksakan diri ke puskesmas dan memilih mengobati sendiri dengan obat yang dibeli di apotek.
Bukannya sembuh, batuk Diky justru semakin parah, bahkan disertai keluarnya darah dari hidung dan mulut. Dia lalu dibawa ke instalasi gawat darurat (IGD) dan menjalani pemeriksaan. Diky akhirnya mendapati kenyataan dirinya terkena TB dan harus menjalani pengobatan selama 24 bulan.
Semula keraguan muncul dalam benak Diky karena sebagai kepala keluarga. Karena, waktu itu dia baru berkeluarga dan memiliki anak yang masih kecil. Akan tetapi, dukungan istri menguatkannya.
Saat ini, dia dinyatakan sembuh dan dia pun bergabung menjadi Pengurus Perhimpunan Organisasi Pasien TB Indonesia. Diky menjadi contoh satu dari sekian pasien TB yang bisa sembuh usai menjalani pengobatan adekuat.
Inilah yang juga ingin disampaikan dokter spesialis paru dari RSUP Persahabatan Dr. dr.Fathiyah Isbaniah, Sp. P(K), M.Pd, Ked. Menurut dia, pada prinsipnya TB bisa sembuh asalkan diketahui lebih cepat dan pasien berobat teratur.
Fathiyah yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu mengatakan pengobatan pasien TB juga dapat mencegah dia menularkan penyakit akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis itu pada orang lain.
Bakteri umumnya menyerang paru, namun juga bagian tubuh lain seperti perut, kelenjar, tulang dan sistem saraf. Ketika kuman TB bertahan dan berkembang biak di paru-paru, maka ini disebut infeksi TB. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan orang yang terinfeksi bakteri TB memiliki risiko sekitar 5-10 persen mengalami TB.
Bakteri penyebab TB dapat menyebar saat orang-orang menghirup tetesan kecil dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi. Menurut Mayo Clinic, tuberkulosis menyebar dengan mudah di tempat orang berkumpul dalam keramaian atau di tempat orang tinggal dalam kondisi padat. WHO mencatat orang dengan TB aktif dapat menginfeksi lima hingga 15 orang lain melalui kontak dekat selama setahun.
Orang dengan HIV/AIDS dan orang lain dengan sistem kekebalan yang lemah memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular tuberkulosis termasuk orang dengan komorbidatau penyakit penyerta. Perokok juga masuk dalam kategori berisiko. Pada tahun 2021, sebanyak 0,69 juta kasus TB baru di seluruh dunia disebabkan kebiasaan merokok. Walau begitu, orang-orang dari segala usia, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia, dapat terkena.
Mereka yang terkena TB biasanya mengalami gejala seperti batuk berdahak selama lebih dari 2 pekan dan terkadang disertai darah apabila ada pembuluh darah yang rusak.
Menurut Kementerian Kesehatan, gejala lain TB juga meliputi penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari, kelelahan, kehilangan selera makan, dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Fahtiyah menyarankan seseorang yang mengalami gejala semisal batuk agar segera memeriksakan diri ke dokter. Nantinya, dokter melakukan pemeriksaan dahak dan foto rontgen. Apabila hasil pemeriksaan positif, maka pasien bisa menjalani pengobatan hingga dinyatakan pulih.
Sebenarnya, gejala yang muncul ini menandakan kondisi sudah lanjut dan ini kebanyakan ditemui pada pasien TB. Berdasarkan Global TB Report 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan pada tahun 2021 sekitar 10,6 juta orang terdiagnosis TBC secara global atau naik sekitar 600.000 kasus dibandingkan tahun 2020. Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus TB terbanyak setelah India dengan jumlah kasus sebanyak 969.000.
“Kadang ada juga yang stadium awal yakni saat berkontak dengan pasien positif. Setelah diperiksa, tubuhnya mengandung kuman TB tetapi belum menjadi penyakit dan ini disebut TB laten. Orang ini perlu diobati dengan terapi preventif. Kalau orang yang bergejala sebenarnya sudah lanjut,” jelas Fathiyah.
Pengobatan TB
WHO menegaskan TB termasuk penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan. Penyakit TB yang rentan terhadap obat diobati dengan standar waktu 4-6 bulan dan ini membutuhkan dukungan dari petugas kesehatan dan keluarga pasien agar patuh berobat.
Berbicara obat TB, menurut Fathiyah, sama seperti obat pada umumnya yang memiliki efek samping. Khusus untuk obat TB, efek yang bisa dihadapi pasien seperti mual dan muntah.
Akan tetapi, ini seharusnya tak membuat takut pasien. Sebelum pengobatan, petugas kesehatan sebaiknya memberikan informasi mengenai hal ini. Selama menjalani pengobatan, pasien bisa menjalani terapi tambahan berupa asupan vitamin dari makanan atau suplemen bila diperlukan.
Pengobatan TB pun dilakukan tergantung dari tipe penyakit TB yang dialami sehingga ini membutuhkan pengawasan dari dokter dan harus dilakukan di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit atau puskesmas.
Menurut Fathiyah, walaupun seseorang sudah sembuh total, dia masih memiliki kemungkinan untuk kambuh. Kasus kambuh ini sering terjadi pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Oleh karena itu, menjaga daya tahan tubuh setelah dinyatakan sembuh itu sangat penting.
Fathiyahminta para penyintas TB memastikan diri mereka untuk mengonsumsi makananseimbang yang mengandung semua nutrisi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral.