korannews.com – Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan ada delapan pokok pikiran dalam menghadapi paradigma “new normal” atau normal baru dalam sektor pertambangan nasional.
“Bagaimana dengan kondisi setelah COVID-19 ini, ada beberapa poin jadi beberapa pokok pikiran dalam menghadapi ‘new normal’ ini,” kata Irwandy saat memberikan pemaparan dalam workshop “Mining for Journalist” yang digelar Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Pertama, kata dia, terdapat perubahan lingkungan strategis dari “old normal” menjadi “new normal” pasca COVID-19. “Di mana ‘security concern’ yang bersifat nasional akan dominan dibandingkan dengan ‘global approach’,” ucap Irwandy.
Kedua, fokus terhadap keamanan bangsa semakin meningkat. Ia mencontohkan bahwa di daerah-daerah saat ini mulai bangkit dengan keinginan untuk mengelola sumber daya alam (SDA)-nya sendiri.
“Tetapi kadang-kadang kemampuan finansialnya kurang sehingga ini terjadi persekutuan dengan perusahaan nasional tapi kemudian kadang-kadang jadi tidak karu-karuan. Harusnya pemda harus cukup kuat untuk masalah-masalah seperti ini. Jadi, kalau kita lihat dalam kaitannya dengan ‘mineral resources’, klasifikasi mineral akan lebih dilihat dari sisi ‘security of nation’, ini yang terjadi sekarang,” tuturnya.
Ketiga, rantai pasok global yang dahulu dominan, maka ke depannya akan berubah menjadi lebih menitikberatkan kepada rantai pasok domestik.
“Ini sudah terjadi sekarang struktur industri yang dulu bergantung dengan ‘global supply chain’ akan bergeser dengan memperpanjang mata rantai industri dari hulu hingga ke hilir mulai dari nikel, nanti bauksit, nanti apalagi,” kata Irwandy.
Keempat, peranan pemerintah sebagai pelaku ekonomi khususnya industri strategis semakin besar. Lalu, “quasi fiscal”, baik melalui BUMN atau institusi lainnya akan dominan dalam mendorong pengembangan industri strategis.
“Ini sudah mulai terjadi dan kelompok-kelompok untuk disatukan menjadi ‘holding’ itu sudah terjadi juga di beberapa sektor lain,” ungkap dia.
Kelima, peranan sektor minerba dalam menghasilkan “foreign exchange” dengan cara ekspor bahan baku seharusnya akan semakin mengecil, mengingat ada fenomena kurva berbentuk huruf U.
“Jadi, memang kita harus kalau menjadi negara hebat ya harus ke U yang paling kanan itu industri hilir,” kata Irwandy.
Keenam, kebijakan energi harus berbasis lokal. Ia pun menyinggung soal proyek Dimethyl Ether (DME) yang digarap PT Bukit Asam Tbk bersama dengan PT Pertamina (Persero) dan Air Products dalam rangka mengurangi ketergantungan pada LPG.
“Maksudnya begini kalau DME terjadi yang kira-kira belum tentu berhasil yang di Bukit Asam kerja sama dengan Pertamina dan Air Products mungkin saja kerja sama ini sampai sekarang belum final bisa berhasil bisa gagal. Kalau itu sudah dihasilkan, yang pertama terpenuhi untuk kebutuhan LPG, yang DME ini akan mengganti LPG itu akan fokus dulu di Sumatera Selatan itu yg dimaksud dengan berbasis lokal,” ujarnya.
Ketujuh, foreign direct investment (FDI) dalam pengembangan sektor minerba harus dilakukan secara selektif. “Jadi, kita betul-betul harus melihat apakah dengan masuknya FDI ke depan itu akan menambah penghasilan kita memberikan ‘transfer of technology’, memberikan satu pengembangan-pengembangan masyarakat. Itu harus menjadi perhatian,” ucap Irwandy.
Terakhir, ia mengatakan jika Indonesia masih bersandar pada satu negara dalam membangun perekonomian, maka Indonesia berada pada posisi yang kurang menguntungkan secara geopolitik.