korannews.com – Stunting atau gagal tumbuh pada anak harus mendapat perhatian serius agar generasi penerus bangsa berada dalam kondisi kesehatan yang optimal. Saat ini, di Indonesia, stunting terjadi sebanyak 17-19% kasus dari total anak.
Jumlah ini terasa mengkhawatirkan karena dampak dari stunting dapat memanjang dan permanen bila terjadi pada bayi dan batita. Padahal, stunting dapat dicegah bahkan sejak masa kehamilan atau seribu hari pertama kehidupan.
Dokter spesialis anak, dr. Dimple Gobind Nagrani, Sp.A. menerangkan, gejala stunting mudah terlihat dari tinggi badan anak yang kurang dari ukuran idealnya.
“Salah satunya disebabkan karena asupan gizi yang kurang. Jika kekurangan gizi ini terus berlanjut dapat berdampak permanen,” katanya ketika menjadi narasumber webinar yang diselenggarakan oleh komunitas Tentang Anak saat memperingati pekan ASI sedunia.
Dijelaskan Dimple, efek dari stunting bisa terlihat dalam jangka pendek hingga jangka panjang. Untuk jangka pendek, antara lain adanya gangguan pertumbuhan otak, IQ yang rendah, hingga gangguan sistem kekebalan tubuh.
Untuk jangka panjang, dampaknya antara lain menurunkan produktivitas dan meningkatkan biaya pengobatan, perawakan pendek, meningkatkan risiko penyakit jantung, dan diabetes hingga kematian.
Dimple mengatakan, orangtua perlu berperan aktif untuk memastikan anaknya berada dalam kondisi yang sehat untuk tumbuh kembangnya. Agar terbebas dari stunting , orangtua juga bisa melakukan monitoring pertumbuhan anak sejak usia dini.
Setiap bulannya, orangtua dapat mengukur berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala menurut umur. Bisa mengukur sendiri atau dengan bantuan tenaga medis setiap cek secara berkala ke fasilitas kesehatan.
“Jika pertumbuhan fisik anak kurang, orangtua wajib mengevaluasi bersama ahli (dokter spesialis anak) apakah asupan makanannya, kualitas nutrisi, dan asupan susunya cukup,” tuturnya.
Yang perlu digarisbawahi, prioritas utama orangtua haruslah bayi sehat dengan pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai dengan usia. Sehingga orangtua haruslah realistis mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Jika setelah dievaluasi ternyata ASI kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari anak, kata Dimple, maka perlu dilakukan upaya lain sebagai pendukung, seperti susu formula ataupun asupan MPASI sesuai hasil konsultasi dengan dokter.
Sebagai catatan, kebutuhan kalori anak usia dini bisa disesuaikan berdasarkan usia. Untuk usia 6-9 bulan memerlukan ASI 70% dan MPASI 30%, usia 9-12 bulan memerlukan ASI 50% dan MPASI 50%, dan usia >12 bulan memerlukan ASI 30% dan MPASI 70%.
Menurut dr. Mesty Ariotedjo, Sp.A, dokter spesialis anak yang juga founder dari Tentang Anak, pihaknya mengelar webinar tentang stunting untuk keperluan edukasi.
Dalam hal ini, mendidik masyarakat soal pentingnya pemberian ASI pada pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.
ASI yang kaya nutrisi semakin istimewa karena diberikan oleh ibu yang disesuaikan dengan kebutuhan bayinya. Sehingga pemberian ASI yang baik, cukup, dan tepat diharapkan bisa mencegah stunting pada anak yang berimbas pada perbaikan kualitas anak di masa depan.
“Kami berharap dapat kembali mengingatkan pentingnya memperjuangkan ASI untuk anak dan bagaimana manajemen ASI bisa menekan angka gagal pertumbuhan pada anak atau stunting , yang kini masih menjadi fokus utama para ahli serta pemerintah di Indonesia,” kata Mesty.***