Kisah Sukses ‘Tukang Air’ yang Jadi Bos Pabrik Kereta

Kisah Sukses ‘Tukang Air’ yang Jadi Bos Pabrik Kereta

Kisah Sukses ‘Tukang Air’ yang Jadi Bos Pabrik Kereta

korannews.com – Besar di dunia perkeretaapian membuat Budi Noviantoro paham betul bagaimana harus mengelola bisnis di industri ini. Tapi di saat yang sama, justru pengalamannya selama 32 tahun di KAI membuatnya harus mengubah tradisi bisnis yang selama ini dijalankan oleh PT INKA (Persero).

Kepada, Budi berbagi cerita tentang awal perjalanannya meniti karir di dunia perkeretaapian. Ia mengaku tak punya mimpi dan rencana berkarir di dunia perkeretaapian.

“Justru saya ingin menjadi engineering di bidang irigasi sesuai dulu jurusannya hydro. Bayangan saya Indonesia kan negara agraris. Nah itu namanya tenaga, sumber daya alam, waduk, bendungan termasuk irigasi sawah-sawah, dulu mikirnya Indonesia negara agraris pasti sawahnya butuh banyak itu macam-macam. Jadi masuk sini betul-betul kaget, tetapi terpaksa.” kata Budi dalam program Ask d’Boss, Selasa (11/10/2022).

Kini Budi telah memimpin INKA dalam empat tahun terakhir. Dia mengemban tanggung jawab membawa INKA harus terus berinovasi demi bisa bertahan dan terus berkembang sebagai BUMN.

Sejumlah produk dan pasar baru dijajal demi ruang gerak yang lebih luas. Bus listrik, trem baterai, hingga kereta hidrogen dikembangkan. Pasar ekspor baru juga terus dicari mulai dari Asia hingga ke benua Afrika. Bahkan ada mimpi INKA bisa membuat kereta cepat sendiri yang dipakai dari Aceh hingga Bali.

Berikut wawancara lengkapnya:

Betul, saya itu di KAI masuk tahun 86. Jadi kira-kira kalau saya berhenti 2018, sudah hampir 32 tahun sebagai operator. Cukup malang melintang. Alhamdulillah saya pernah jadi Pimpro jalan kereta api lintas utara, Pimpro Jawa Barat di bawah Dirjen Perhubungan Darat pada saat itu. Saya juga mendapat posisi di PT Kereta Api Indonesia menjadi Kepala Divisi Palembang, kemudian sebagai Dirut KAI Logistik anak usaha dari KAI, terakhir saya juga posisi salah satu direktur logistik dan pengembangan. Saya lama di perencanaan dan pembangunan KAI. Cukup lama lah karirnya di KAI.

Nggak sih. Kalau saya melihat background ilmu saya, saya lulusan ITS jurusan hydro, pengairan lah kira-kira. Waktu itu ada tujuan, wah ini saya bisa masuk ke bio pengairan, mengelola soal ketahanan pangan, cetak sawah, irigasi, dan sebagainya. Tetapi ya nggak tahu, mungkin jalan saya mungkin garis tangan barang kali, terakhir akhirnya masuk di PT Kereta Api Indonesia. Itu sebetulnya saya nggak tahu, disarankan sama salah satu saudara, saya nggak tahu.

Jadi apa sih kerja di kereta api? Jadi kepala stasiun atau gimana? Memang tahunya jadi kepala stasiun mana. Tapi ternyata perkeretaapian itu tidak hanya sarana tapi juga infrastrukturnya. Jadi semua disiplin ilmu itu akan masuk di-adsorb oleh perkeretaapian. Mau ekonomi, mau macam-macam itu di-adsorb oleh perkeretaapian. Yang infrastruktur itu porsinya 60% saja.

Akhirnya mau nggak mau saya harus belajar menjadi insan perkeretaapian sebagai operator. Sehingga saya masuk, INKA umurnya mungkin baru 4 tahunan. Kan INKA baru muncul 82, saya kan 86. Jadi seperti itu, sehingga saya masih harus belajar banyak menyesuaikan dunia perkeretaapian khususnya sebagai operator pada saat itu.

Kita diminta mengevaluasi usulan dari daerah. Jadi biasanya daerah itu, misalnya dulu kan ada namanya inspeksi. Waktu itu saya diminta untuk bagian pemeliharaan jalan kereta api dan jembatan. Waktu itu saya ditugaskan untuk mengecek usulan-usulan daerah, karena saya sebagai engineer muda dari perguruan tinggi. Jadi saya masih bisa menerapkan ilmu saya sedikit. Ilmu sipilnya masih ada sedikit masuk.

Jadi kami diminta untuk mengecek usulan-usulan daerah. Misalnya mereka membuat usulan proteksi jembatan, proteksi sungai. Itu kan ada desain seperti itu, dan kami mengoreksi atau memperbaiki kalau perlu. Dari situ baru nanti di-approve untuk dieksekusi di lapangan. Jadi awalnya seperti itu, keliling ke mana-mana itu. Ke Jember segala macam itu pertama kali tugas kami sebagai tenaga muda insan perkeretaapian.

Nggak ada. Saya ingin menjadi engineer di bidang tadi. Saya dulu jurusannya hydro, bayangan saya Indonesia ini kan negara agraris. Nah itu kan butuh tenaga-tenaga pengelolaan sumber daya alam. Mau itu waduk, jembatan, DAM, bendungan, termasuk irigasi sawah-sawah. Dulu mikirnya gitu. Agraris pasti sawahnya butuh banyak itu macam-macam. Jadi masuk sini ya betul-betul kaget, terpaksa tapi nggak apa-apa.

Ada-ada lah, bukan nggak ada. Tapi ada lah dikit, tapi okelah kita bisa jalani sampai hari ini.

Saya ini waktu di kereta api itu mengerti kapan PT KAI beli dan tidak beli kereta lagi. Saya membuat RJPP pada saat itu, untuk 5 tahun ke depan. Waktu itu perintah dari pimpinan, sesuai dengan peraturan pemerintah dalam hal ini Permenhub, bahwa sarana umur 30 tahun harus diganti demi safety. Saya membuat planning itu tahun ini, tahun ini, tahun ini. Katakanlah armada kita itu waktu itu sebelum covid, paling juga nggak sampai 6 tahun selesai, ganti armada kalau ada duitnya. Anggaplah 10 tahun, kereta api bukan nggak mau beli. Karena sudah baru pasti tidak beli. Sehingga, saya pikir ‘waduh ini INKA kira-kira 10 tahun lagi mau tutup nih,’ kira-kira gitu.

Makanya saya juga waktu itu saat masuk berpikir, saat itu masih punya satu pabrik, pabrik yang kedua sedang proses. Secara teori kapasitas produksi kalau di Madiun kira-kira dua per hari. Kalau di sana kapasitas per hari bisa 4. Nah ini harus kita jual.

Di sisi lain kita kan sifatnya job order, kita siap menjadi mono shop nih. Yang beli KAI, ada juga operator lain tapi belum banyak, sehingga memang customer terbesar itu adalah KAI. Waktu itu memang saya diskusi sama teman-teman, ini situasi seperti ini.

Pada saat covid KAI kan luar biasa. Sehingga saya tanya waktu itu, pilihannya mau jadi anak usaha KAI atau berdiri sendiri. Teman-teman itu ada dua kubu. Yang senior pilihnya jadi anak perusahaan KAI. Saya bilang enak kok gajinya gede-gede. Pada saat itu yang muda itu bilang ‘nggak lah. Kita tetap menjadi BUMN’. Ini kan pilihan yang sulit buat saya. Kalau jadi anak usaha PT KAI kan nggak nggak repot cari order, udah pasti ada, gaji gede.

Oke, kalau begitu kita mesti berjuang. Maka saya bilang mau nggak mau kita harus berusaha. Satu, kita masuk pasar-pasar yang memang non tradisional. Kedua, kita mesti bertransformasi bisnis. Artinya kalau bisa kita jangan produksi kereta tok. Kalau nggak punya order, jadi nganggur. Itu memang nggak mudah, kan juga butuh kesiapan fasilitas, SDM segala macam. Nah yang going global, kita coba yang sudah dirintis oleh direksi sebelumnya. Saya melanjutkan contohnya yang di Bangladesh.

Kemudian saya juga dapat kontak di Filipina dan macam-macam. Kita masuk ke pasar Afrika, walaupun sulit ya kita coba. Karena kan kalau istilah orang itu, kalau nggak di-blend, lubang jarum jadi pintu. Afrika itu menurut saya ekonomi masa depan. Sekarang belum digarap secara maksimal, tapi lama-lama pasti digarap. Karena dia punya potensi tambang yang sangat besar. Logistik untuk angkutan mineral banyak di sana, ada emas dan macam-macam.

Ini sudah proses 3 tahun, it’s okay lah kita coba. Nggak mudah memang, kita coba lihat.

Nah yang lain kita coba transformasi bisnis. Saya berpikir, waktu itu tahun kedua. Saya ke belakang kok ada kereta prototipe ya, dibiarin begitu. Cobalah kita perlu bikin. Saya yakin ke depannya tenaga baterai ini akan menjadi booming, itu tiga tahun yang lalu.

Terus, teman-teman saya minta dorong, coba Anda belajar kereta ini dibuat sebagai prototipe baterai. Dibuat sama teman-teman, kita mesti beli baterai di China cukup mahal saat itu. Alhamdulillah berhasil memproduksi kereta biasa menjadi kereta listrik berbasis baterai. Masih menjadi prototipe, tapi itu sudah berjalan, malah sudah advance dikasih software untuk bisa berhenti, bisa macam-macam. Jadi itu kereta pandai, menggandeng teman-teman dari ITB.

Maunya ke Bali trem baterai itu. Sudah sih sebetulnya proses harapannya. Cuma memang Bali itu dengan Kabupaten Badung. Kita sudah diskusi intens, kita buat trem baterai dari belakangnya Patra Jasa, Bandara itu menyusuri pantai sampai ke Seminyak sampai Canggu, itu 12 kilometer. Sudah FS. Masalahnya ini nunggu reklamasi. Kalau lewat tengah-tengah, susah setengah mati, macet. Tapi kalau bisa lewat pantai itu bisa dan mudah. Masalahnya sekarang pantai itu tidak boleh dipakai. Tetapi Badung punya program reklamasi pantai sampai 100 meter ke arah laut. Kalau ini bergeser ke garis pantai, saya pakai. Ini sudah diskusi intens dan segala macam, dia pakai trem baterai. Dan pihak kabupaten Badung merespons positif, Pak Gubernur juga positif.

Sudah ada gambarnya itu, bagus di pinggir pantai itu dan bisa mengatasi kemacetan yang ada di daerah Kuta. Transportasi dari bandara sampai Seminyak itu tahap pertama 6 kilometer, sampai ke canggu 12 kilometer. Totalnya mungkin biayanya sekitar Rp 700-an (miliar). Dari pengalaman teman-teman mengoprek trem baterai itu, paling nggak sudah tahu baterai itu apa sih. Kedua, bagaimana mengintegrasikan baterai pada suatu fungsi penggerak kereta. Ini kita sudah coba alhamdulillah walaupun dengan motor seadanya, tapi secara fungsi oke.

Iya, INKA ini sebetulnya core business-nya produksi sama sarana. Sarana itu lokomotif, kereta. Keretanya macam-macam, kereta berpenggerak dan kereta tidak berpenggerak. Yang berpenggerak itu seperti LRT, KRL, pokoknya kereta api bermesin. Yang tidak berpenggerak sama, yang digandeng lokomotif. INKA sudah berhasil memproduksi 5 lokomotif diesel, dan kita sudah ekspor ke Filipina. Ada 3 lokomotif diesel hidrolik, dengan 4 KRDE, plus 15 gerbong penumpang ke Filipina.

Sekarang ini kita lagi memproduksi alhamdulillah dapat order dari New Zealand, sekarang sedang produksi 262 gerbong untuk kontainer ditambah platform lokomotifnya. Mungkin dulunya itu China, China, China. Karena situasi global macam-macam, akhirnya New Zealand pilih kita. Mereka datang sendiri, mengaudit sendiri konsultannya. Dan alhamdulillah kita lulus, jadi pabrik itu dicek satu persatu sampai manajemennya segala macam. Akhirnya kita dapat kontrak 262.

Jadi kemungkinan, kita akan mendapatkan kontraktor baru. Mereka ini lelang sebetulnya di antara perusahaan Australia. Jadi perusahaan Australia nanti yang dapat lelang di Kiwi, berpartner sama INKA untuk men-support itu. Sekarang lagi produksi di sana di INKA di Madiun. Jadi itu kita produksi rolling stock, ya lokomotif, gerbong kereta, kereta khusus, kereta ukur, inspeksi, dan macam-macam. Ada yang luxury penumpang 18, penumpang 24. Itu punya KAI produksinya INKA.

Untuk trem baterai dari China. Dua tahun yang lalu orang masih belum berpikir baterai. Cuma saya sudah berpikir, mau nggak mau, suka nggak suka nanti the end of the day pasti baterai. Kuasai sekarang.

Teman-teman ngomong ‘Pak kita bikin bus listrik’. Ayo bus listrik! Tapi pada saat itu kan masih awam benar anak-anak. Kereta bisa, bus gimana sih? Akhirnya kita kolaborasi dengan salah satu pabrik bis di Taiwan, kita lihat bersama-sama. Kita beli komponennya, di-intercase di INKA prototipe pertama tiga tahun yang lalu. Karena itu kita masih prototipe, tapi sudah ke mana-mana itu, sudah sampai Transjakarta, ke Bali macam-macam, sampai dengan ke ESDM ke G20 dan kemarin terakhir ke Labuan Bajo.

Masalahnya, busnya nggak lolos SUT, terlalu berat. Justru lagi-lagi regulasi perlu disiapkan dari awal, belum ada regulasi bus listrik. Jadi kita gunakan regulasi bus biasa 8 meter yang mesin biasa. Padahal yang utama itu adalah baterai. Baterai itu berat sekali. Kalau kita gunakan baterai dari Taiwan itu beratnya 1 ton baterainya doang. Sedangkan kalau gunakan lokal itu beratnya 1,5 ton. Ini prinsipnya pemerintah regulasi tetap dipercepat. Supaya pemain-pemain baru di dunia EV akan punya acuan bagaimana kita memproduksi sesuatu untuk sesuatu berdasarkan aturan yang benar. Kalau INKA agak nekat nih, begitu kita dapat kemarin, kebetulan ada perhelatan G20.

Belum. Saya sudah punya prototipe pertama. Itu pertama kali kita coba memberanikan diri. Saya berpikir kalau kita tidak bertransformasi bisnis kita, hanya tergantung pada rolling stock saja, yang sampai sekarang KAI customer besar kita. KAI Kena COVID, selesai semua. Nggak cukup bergerak di situ aja. Makanya kita coba diversifikasi usaha lain yang masih bisa. Makanya kita buat bus listrik.

Kita sebelum itu juga bikin container yang berpendingin. Itu susah itu nyarinya. Kita didorong oleh Kementerian. Sudah dipasarkan kalau mau, tapi pengguna kadang-kadang kalau tak kenal maka tak sayang. Tapi saya juga beruntung ada perpres TKDN itu. TKDN yang membantu INKA sebagai pelaku usaha industri yang kepengin meningkatkan total kandungan dalam negeri semaksimal mungkin. Bus listrik kita loncat, bus listrik kita ada 3 tipe sekarang. Tipe pertama TKDN-nya 46%, kemudian tipe kedua yang sudah menggunakan baterai ABC lokal, itu TKDN 56%. Nanti kalau Dikti ITS berhasil merakit motor, maka TKDN sudah 76%.

Sekarang kita sudah menginjak ke 56%. Yang sudah dikirim ke Bali itu masih 46%. Tapi sekarang kita sudah menggunakan baterai ABC. Yang pakai baterai Taiwan itu ada 10 bus. Sisanya pakai yang baterai ABC. Cuma memang ini sesuatu yang harus kita ambil, sesuatu yang melangkah sedikit ke belakang tapi bisa loncat ke depan. Artinya kalau saya beli baterai dari Taiwan itu lebih murah. Beratnya relatif lebih ringan. Itu nggak mudah. Tapi karena saya pengin TKDN 56%, apapun. Ya sudah saya pilih harga lebih mahal, lebih berat, tapi itu untuk bekal ke depan. Dan ini supaya mendorong pelaku pelaku bisnis berinvestasi ke baterai. Kan Indonesia ini gudangnya baterai, tapi faktanya nggak. Makanya saya mendorong teman-teman di industri itu mengikuti kita. Saya berani saja melangkah sedikit ke belakang, tapi lompat tiga kali ke depan.

Kalau nanti kolaborasi dengan Dikti, harapannya riset teman-teman itu bisa kita absorb untuk diproduksi, di-scale up untuk jadi sesuatu yang baik. Itu kalau bisa dicapai, ini ada 3 bus listrik yang nanti kita akan gunakan motor rakitan Dikti atau PTN dan Swasta, kolaborasi di situ kita bisa mencapai TKDN 76%. Ada 3 bus rencananya, yang juga akan dipamerkan di G20. Kita dorong itu semuanya, sehingga harapannya nanti industri baterai bisa tumbuh, ekosistem juga tumbuh. Kan ada jaminan TKDN 76%, pasti akan meng-adsorb produk dalam negeri kita. INKA juga akan melakukan langkah strategis, menggandeng perguruan tinggi negeri dan swasta yang mau berkolaborasi dengan kita. Kenapa? Karena INKA butuh research. Di sini banyak riset, nah ini di-link and match-kan. Sehingga nanti sekian riset yang dilakukan sekian ribu dokter itu nggak jadi buku saja, ada produknya. Saya bisa menikmati hasil produknya tanpa biaya.

Jadi sebetulnya G20 ini bus pinjaman. Jadi ada program Menteri Perhubungan buy the service yang dulu pakai bus diesel. Buy the service itu pokoknya operator silakan investasi, ada nggak ada penumpang itu dibayar. Nah pertama kali buy the service ini nanti dengan DAMRI itu akan dioperasikan di Bandung dan Surabaya 53 bus. Nah ini dipinjam 30 bus ke G20. Jadi ke depan ini akan dipakai DAMRI dari sisi operasi. Dari sini kita produksi yang lain. Saya yakin ke depan ini, apa lagi ada Perpres 55, bahwa harus menggunakan kendaraan operasional Kementerian/Lembaga untuk EV. Saya tidak akan bermain EV untuk sedan. Itu lebih komplek. Saya lebih cocok yang eksklusif untuk satu daerah, misalkan daerah turis atau wisata, lalu tambang. Itu kan gampang ngaturnya, jadi chargernya ini ngaturnya gampang.

Betul. Tapi kalau saya masuk ke sedan, bingung saya taruh di mana itu chargernya. Itu pertanyaan yang susah, pertanyaan EV mobil sedan kalau ke Surabaya di tengah-tengah baterai tinggal 5%. Selesai. Jadi saya nggak main di situ, saya main bus rutenya kayak Transjakarta atau Surabaya. Saya hitung oh sekian kilometer, maka ngecas di mana di mana. Tapi kalau nggak terkontrol, setengah mati. Makanya kita masuknya yang tadi, kayak buy the service untuk mass transit di suatu daerah, daerah tambang, wisata, itu gampang ngaturnya.

Kalau untuk yang 8 meter itu baru DAMRI, tetapi saya yakin tahun depan program buy the service yang sekarang masih pakai diesel, itu bertambah banyak dengan listrik. Itu bisa ratusan atau ribuan jumlahnya.

Kemudian juga saya sekarang ini membuat satu prototipe lagi, sudah dipamerkan di Kemayoran, itu yang 12 meter. Untuk apa? Untuk Transjakarta. Itu kan Transjakarta cukup banyak. Dengan teknologi yang kita kuasai, kalau bisa TKDN 75% itu kan luar bisa. Jadi mohon dukungannya teman-teman media, bahwa inilah sesuatu yang dari Indonesia untuk Indonesia.

Bukan untuk INKA saja, kalau di G20 kan semacam sesuatu luar biasa bus INKA bisa digunakan.

Kalau ekonomisnya oke, bicara secara margin menguntungkan.

Kalau kereta kan ada standarnya ya, bus listrik itu belum ada. Jadi karena lebih cepat memproduksinya, kemudian bus EV ini sebetulnya mudah merawat karena komponennya jauh lebih sedikit dan memang bersifat elektrik. Jadi diagnosisnya sudah pakai komputer, dicoloki gitu sudah tahu nih apakah sakit perut, atau sakit pinggang ketahuan. Anak INKA mengecek ‘Ohh ini virusnya’, jadi lebih gampang dibandingkan kalau mobil diesel itu.

Lebih mudah, jadi komponennya nggak banyak. Komponen mekanik seperti roda. Kenapa cuma sampai 76% (TKDN) maksimal, baterai Indonesia, motor sudah rakit Indonesia. Satu sebenarnya yang belum kita buat. Makanya kami berharap teman-teman otomotif memproduksi as rodanya itu, atau gardan masih impor semua. Alhamdulillah dari Pak Anindya Bakrie juga merapat dengan kami, berkolaborasi, ‘Pak ini kita masih impor ini, bisa nggak dibuat sama Bakrie Otopart?’ Termasuk juga Barata. Silakan pak, masih banyak peluang komponen yang bisa dibuat di Indonesia.

Cuma memang untuk gardan ini nggak mudah. Sampai detik ini susah nyuri teknologinya. Sehingga mungkin lebih baik kita kolaborasi dengan pabrikan yang sudah eksis di luar negeri bawa ke Indonesia. Kalau buat sendiri rasanya nggak mudah. Kalau nggak panas ya bunyi. Saya pikir perlu bersama-sama membangun ekosistem EV supaya nanti Indonesia juga bisa. Kita kan rajanya baterai ke depan, tapi kalau EV-nya impor nggak lucu juga. Karena kan 40% harga EV itu baterai. Kalau baterai itu bisa di Indonesia, mulai dari A-Z rasanya EV akan lebih murah. Kalau sekarang memang masih mahal.

Itu utamanya, tetapi saya yakin nanti lama kelamaan mereka sudah menikmati dengan fasilitasnya. Sebetulnya yang jadi concernya chargernya ini narohnya di mana, bagaimana. Bayangin aja kalau sekarang kayak pom bensin itu, ngecas satu jam, terus bingung ini ke mana. Makanya saya cuma berpikir sekali ini baterai adalah sasaran antara. Ke depan itu adalah hidrogen.

Sedang dikembangkan. Sekarang kita dapat kontrak sama Politeknik Madiun, kolaborasi antara Dikti dengan INKA menggunakan dana APBN, yang diserahkan ke Politeknik Madiun, kita membangun ekosistem baru. Saya lagi membuat prototipe kereta berpenggerak listrik aliran atas, genset, baterai, dan hidrogen. Jadi empat hybrid kita coba kombinasikan. Kalau jadi, di Madiun di sekitar kampus politeknik sedang diselesaikan rel untuk uji coba 800 meter.

Di semua moda. Saya kemarin ke Berlin kereta sudah pakai hidrogen, yang di pameran JCC juga teman-teman dari BRIN mengembangkan hirogen juga.

Sekarang lebih mahal di samping baterai, tetapi potensi hidrogen di Indonesia ini luar biasa. Batu bara itu diolah jadi hidrogen itu.

Karena kalau baterai masih belum apa ya. Banyak pertanyaan. Susah jawabnya. Saya pikir lebih baik (kendaraan listrik) kita yang eksklusif misalkan di IKN, rutenya ke sini-sini sudah tahu. Misalnya di Ancol juga cukup itu. Malah Ancol sebetulnya sudah bisa pakai autonomus bus, cuma masalah regulasi lagi. Kalau operasikan autonomus aturannya harus ada supir. Nggak apa-apa (tenaga listrik) untuk riset teknologi. Tapi at the end of the day, kalau pemerintah sudah membuat khusus untuk masalah begini, ini kita bisa langsung buat untuk masyarakat Indonesia.

Tapi ke depan saya yakin hidrogen luar biasa, lebih simple dan gampang buat masyarakat. Itu ada dua, satu ganti baru. Kedua modifikasi. Jadi untuk pabrik-pabrik otomotif sekarang nggak terlalu berat hati. Minimal 60% komponen dipakai, tapi kalau ganti baterai gitu kayak mercy segala macam kan agak keberatan.

Pasti lebih ramah lingkungan. Macam-macam ya hidrogen, ada elektrolisi dan macam-macam. Tapi kalau dengan batu bara, sebetulnya prosesnya nggak green, tapi hidrogennya green. Tapi kalau bicara hidrogen yes, karena hidrogen nggak cuma dari batu bara. Dari air juga bisa kok.

Pandemi ini luar bisa. Kita kalau ekspor kan harus ke luar negeri. Ini udah 2 tahun baru kita lagi ke Berlin. Di sana nggak cuma lihat pameran internasional, tapi juga ketemu costumer. Ada Bangladesh, Zambia di sana, semua perusahaan kereta api dunia datang ke situ.

Jadi untuk going global ini kan diinisiali oleh Presiden juga dan Pak Erick, bahwa BUMN jangan hanya jago kandang. Kita mencoba global. Makanya kita harus tulis bangga buatan Indonesia.

Untuk luar negeri, untuk bus pun kita coba masuk. Kami sudah zoom kemarin dengan perwakilan Pakistan sebelum kena banjir. Setelah kena banjir butuh waktu dulu. Pakistan itu pemerintahnya ingin ganti bus yang di Karachi. Itu 14 ribu bus di Karachi saja yang mau diganti pakai EV. Sanggup nggak INKA ditanya? Sanggup. Kenapa? Karena INKA banyak partner, banyak teman karoseri. Jadi nanti INKA buat perhitungannya. Itu karoseri Indonesia ternyata satu tahun lumayan besar kapasitasnya. Tinggal kita bagi-bagi toh. Jadi ini kita jajaki.

Kemudian di Thailand juga ada yang namanya east economy zone (EEZ), itu juga mengembangkan di daerah Thailnd selatan timur konsepnya kan green. Kemarin juga zoomzoom-an tertarik, termasuk buat beli chargernya. Thailand itu beli charger dulu. Menurut saya benar juga. Berapa ribu dipasang dulu, mobil ya nanti. Jangan sampai ada mobil, chargernya nggak ada kayak di Indonesia. Kalau di sana dipasang charger banyak banget.

Cuma kemarin masih deal-dealan berapa persen yang bisa. Akhirnya kan minta diproduksi di sana. Bisa saja. Jadi ada tahapan nanti di sini dulu, setengah di sana, akhirnya full di sana. Saya kira itu normal lah. Di Indonesia juga begitu. Yang namanya Pakistan juga begitu, akhirnya saya bilang tiga tahun pertama beli putus, tapi training mulai di situ. Setelah siap lanjut separuh, lebih siap lagi 70%, akhirnya full manufaktur di Pakistan. Itu wajarlah seperti itu.

Belum ada lagi baru sekali, di sana masih berduka karena Pakistan banjir, Tapi saya nggak maksa lah. Paling nggak dia sudah ada semacam atensi bahwa ini seperti itu. Jadi yang menarik adalah bagaimana kita memberikan dukungan teknologi ke sana. Kalau hanya beli putus, mereka juga bisa beli dari China dan yang lain. Jadi kita buat roadmap bagaimana kita mulai dari beli putus, kemudian dipasang di sana, macam-macam, sejalan dengan kesiapan SDM mereka.

Sebenarnya Sri Lanka sudah lama prosesnya. Sri Lanka kita menggunakan skema bahwa LPSE membiayai pinjaman ke Sri Lanka beli kereta. Prosesnya lama. Lama-lama nggak jadi, bangkrut dia. Belum sempat jadi, tapi sudah oke harganya.

Bukan. Jadi secara teknis, secara bisnis oke. Indonesia sudah siap membantu, tapi bank pelaksana ini belum clear di sana. Perlahan-lahan jadi nggak jadi.

Kayak Zambia nih, kita sudah menang lelang, sudah ditunjuk. Kita gabung sama Turki untuk 30 lokomotif menggunakan Swedian loan. Setelah Covid, ini berantakan. Nggak batal, tapi masih mundur-mundur karena dia diaudit sama IMF. Kemarin bertemu (Zambia) di Berlin, dia masih mencoba nego-nego, sebatas itu kita masih masuk akal, masih punya margin, kenapa tidak. Yang lain juga sama, kayak Kongo dan Zimbabwe. Paling tidak kita didukung Pak Duta Besar di sana untuk membantu teman-teman di sana membangun negaranya melalui infrastruktur ini dengan katakanlah aset yang dia punya seperti aset batu bara, kita cari solusinya.

Kita di Kongo itu sudah lama sebetulnya. Mudah-mudahan nanti November kita akan ke sana untuk assessment. Jadi Kongo itu sudah kontrak. Tapi INKA sebagai EPC. Investornya dari Amerika.

Memang kalau 2020 kita rugi, berantakan kami. 2021 alhamdulillah kita survive, masih melebihi target. 2022 ini mudah-mudahan paling tidak sama dengan RKAP. Ada dampaknya pasti, wong ini produksi juga takut-takut. Bagaimana mempertahankan produksi tetap sehat luar biasa. Saya membuat kereta covid itu di Madiun, kalau nggak repot. Rumah sakit full, jadi masuk ke kereta covid semua. Jadi suasana agak berbeda. Alhamdulillah covid kemarin hanya dua atau tiga orang yang tidak selamat dari sekian ratus terkena covid.

Ini juga produksi kita, KAI kena COVID, drop pendapatannya, ya nggak bisa beli kereta. Nah sekarang sudah mulai beli kereta, pesan luxury buat Lebaran tahun depan.

Ini juga dampak covid. Sebenarnya ini sudah clear dengan KCI. Design dan segala macam sudah clear sebenarnya. Cuma sayangnya proses berjalan, covid drop, nggak ada lagi pengadaan itu. Sekarang naik lagi, mulai lagi. Teman-teman KCI merevisi RKAP supaya anggaran masuk RKAP. Cuma butuh waktu kan. Saya kemarin ketemu, kelihatannya proses kontraknya harapannya bulan Januari, karena nunggu revisi RKAP dari KCI.

Sekarang 15 kali 12, 15 transit kali 12 gerbong.

Paling tidak bertahap, paling 2-3 transit dulu masuk. Nggak bisa bareng 15 kali 12, itu banyak itu.

Ya sama lah. Kebetulan kita untuk menjaga mutu, jadi sama. Kita juga nanti joint venture dengan pabrikan kereta yang di Swiss. Kita sudah bisa memproduksi kereta sendiri sebenarnya. Tapi kalau INKA bergerak sendiri nanti nggak ada sesuatu yang baru. Misalkan dari sisi komersial, Taiwan luar biasa, Singapura banyak. Tapi kalau udah statler INKA, itu pasti mau dia. Itu yang namanya high quality market. Jadi sambil kita belajar melengkapi teknologi yang kita punya. Dan mereka sudah welcome untuk memberikan teknologinya. Kemarin juga kita sudah ketemu dirutnya di Berlin, bulan November ke sini nanti. Karena tidak berkepentingan head to head dengan China. Kalau dia di pabrik Swiss sana, masuk ke Australia itu agak susah, cost-nya mahal. Tapi kalau dibangun di Banyuwangi, ekspor ke Taiwan itu kan lebih dekat. Jadi kita saling membutuhkan. Saya butuh tambahan teknologi dengan high quality product, mereka juga butuh tempat untuk bisa memproduksi untuk bisa head to head mengurangi cost logistik, untuk bisa bersaing dengan China.

Memang ini bermula dari teman-teman KAI, mau cari yang aneh. Walaupun jujur saja saya pribadi kurang pas. Ini kita negara tropis masalahnya. Kalau siang-siang dibuka atasnya sanggup nggak? Kalau saya sebagai produsen, customer minta itu ya saya buat. Dan ini sudah prototipenya. Bagus sih. Tapi cocoknya ya mungkin cuma buat daerah dinginlah kayak Bandung, Padalarang. Kalau malam lihat bintang.

Saya jujur aja bukan nggak setuju, tapi agak kurang pas karena kita tropis daerahnya. Dalam segi estetika bagus, tetapi tidak cocok di negara tropis. Kaca kan kena matahari pasti panaslah. AC-nya mau berapa PK? Tapi ya tergantung, kalau mau yang agak antik, ya saya sarankan untuk lintas Bandung-Padalarang. Kalau Jakarta janganlah. Kayak Jakarta-Surabaya ya panas itu.

Ini kan ide direksi yang lalu. Sekarang saya belum sampai ke sana. Saya sudah bikin prototipe untuk permintaan teman-teman KAI pada saat itu. Ada satu prototipe yang saya taruh di Madiun. Nah sekarang kalau Pak Dirut KAI sudah pesan luxury, tapi bukan panoramic. Yang kaya pesawat gitu tempat duduknya, nyaman, itu banyak yang minta, teman-teman mau pakai luxury sampai habis. Makanya Pak Dirut sudah minta mau beli 10 lagi, mudah-mudahan Lebaran nanti sudah bisa di-launching. Karena itu laku. Berebut tuh yang Jakarta-Surabaya. Memang harga yang mahal, masyarakat Indonesia luar biasa.

Belum. Kalau nggak salah KAI sendiri sudah memodifikasi ya. Semacam gerbong lama dipotong-potong gitu aja, bukan buat baru. Yang saya buat itu memang kacanya itu lebih lebar, atapnya itu ada kacanya. Memang bentuknya bagus, wah begitu, interiornya bagus. Tapi kemarin itu nggak kuat AC-nya. Mesti tambah, tapi kalau mau tambah sejauh mana bisa nambah AC nya untuk melawan kekuatan matahari. Fungsinya apa? Kelihatan langit. Mungkin kalau kereta malam bisa. Tapi kan malam juga orang sudah tidur. Tapi kalau untuk kereta wisata mungkin ya. Tapi kalau jarak jauh rasanya kurang, kalau malam juga kita cuma lihat bintang pasti sudah tidur.

Belum, yang sudah itu luxury. Luxury yang seatnya kayak pesawat. Sekarang banyak yang minta walaupun mahal.

Target saya ini buat kereta cepat Indonesia. Jadi kepingin buat sendiri. Kami juga dapat support dari teman-teman Dikti dan BRIN, itu saya mencoba dengan kemampuan yang kita punya. Kita juga sounding teman-teman dari Jepang,, kolaborasi dengan teman-teman dari ITS, Undip, UGM, UNS, macam-macam, BRIN, BPPT, kita berharap bisa bikin kereta cepat merah putih.

Dulu sebelum covid, saya pikir 2025 kita sudah punya yang namanya prototipe kereta cepat merah putih. Teknologi sebetulnya harus kita kuasai. Saya punya mimpi bayangannya, dari Denpasar ke Gilimanuk terus masuk laut ke Banyuwangi Surabaya lewat utara, terus sampai Merak. Dari Merak ada dua pilihan, kita membuat jembatan Selat Sunda atau lewat laut terus sampai Aceh.

Saya ditanya waktu ngumpulin teman dari perguruan tinggi ada 100 dosen S1, S2, S3. Ayo kita buat infrastruktur kereta api kayak gini. Kita mulai dari sini. Kapan? Saya nggak tahu. Tapi, kalau Anda sudah punya konsep, ini kalau suatu saat ada investor, itu gampang nangkapnya. Kalau Anda nggak punya apa-apa, nanti bingung sendiri.

Saya kan juga orang yang senang berinovasi ya. Kalau kereta ini jalan, pertu12mbuhan ekonomi Indonesia akan meledak. KS itu akan berani memproduksi rel, Pindad akan berani memproduksi wesel. Karena memang secara ekonomi skill-nya masuk. Kalau sekarang ditanya KS nggak bisa bikin rel ya nggak bisa. Skala ekonominya nggak masuk. Dia butuh kira-kira 400 ribu ton. Kalau kita bangun dari Bali sampai Aceh pasti masuk.

Indonesia ini kaya banget. Coba itu tambang kita dimonetisasi jadi duit tuh. Indonesia kaya banget dan mampu. Paling nggak punya mimpi dulu. Semua industri akan ikut. Kalau perlu ya kereta api yang berpenggerak solar panel. Bayangan saya itu, kereta di atasnya solar panel sepanjang jalan. Bisa nggak? Ya nanti kita lihat. Yang penting nanti konsepnya adalah atas pakai solar panel, dimotori baterai, backup-nya genset PLN. Memang kalau mimpi harus yang aneh-aneh. Jadi kalau itu terjadi mesti luar biasa. Bisa atau tidak, nanti dihitung. Tapi feeling saya bisa.

Saya ini kadang-kadang terlalu cepat. Jadi gini, kalau saya memberi perintah sesuatu, maunya kecepatan. Pikiran saya sudah biasa, bahwa kamu harus begini begini, tapi kadang-kadang teman-teman belum ngerti.

Contoh, saya ingin buat sesuatu temuan baru. Sampaikan ke teman-teman tolong gambarin deh. Begini, begini, begini, menurut saya sudah jelas. Dicatat sama dia, difoto di papan. Ternyata belum pas. Nah itu yang menurut saya, saya kecepatan kalau memberikan suatu arahan, perintah kadang-kadang orang lain saya berpikir sudah berpikir seperti saya. Kecepatan. Makanya sekarang saya rem nih.

error: Content is protected !!