korannews.com – TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Saat ini kesehatan jiwa menjadi salah satu tantangan terbesar dalam skala global. Kurangnya akses untuk perawatan kesehatan jiwa, sekaligus stigma di masyarakat menjadi salah satu faktor memperparah kondisi kondisi kesehatan jiwa pasien.
Hingga, dapat menyebabkan tindakan bunuh diri . Kesehatan jiwa berdampak pada kesehatan fisik, sosial, dan ekonomi individu dan masyarakat di seluruh dunia.
Lebih dari tiga perempat orang yang menderita penyakit jiwa tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Akses untuk perawatan kesehatan jiwa yang berkualitas sangat terbatas.
Bahkan lebih dari 75 persen orang dengan gangguan jiwa tidak mendapatkan perawatan sama sekali. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setiap tahun 703.000 orang bunuh diri dan masih banyak lagi orang yang melakukan percobaan bunuh diri .
Setiap tindakan bunuh diri adalah tragedi yang mempengaruhi keluarga, komunitas dan seluruh negara dan memiliki efek jangka panjang pada orang-orang yang ditinggalkan.
Kasus bunuh diri terdapat di seluruh rentang usia dan merupakan penyebab kematian keempat di antara usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2019.
Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi merupakan fenomena global di seluruh wilayah dunia. Faktanya, lebih dari 77% kasus bunuh diri global terjadi di negaranegara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2019.
Melanjutkan komitmennya, PT Johnson & Johnson Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan menyelenggarakan Public Webinar on Major Depressive Disorder with Suicidal Ideation and/or Behavior (MDSI): “Lighting the Hope for Depressive Suicidal Individuals Through Collaborative Action”.
Acara ini dibuka oleh drg Vensya Sitohang, M.Epid, Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Serta melibatkan moderator, pembicara dan panelis yang mewakili berbagai kalangan.
Di antaranya dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ, dr. Lahargo Kembaren SpKJ, Prof Budi Anna Keliat, (Ikatan Perawat Klinis), Ratih Ibrahim (Psikolog Klinis), dr Edu, SpKJ (Direktorat Kesehatan Jiwa Kemenkes RI).
Lalu ada Tri Agung (Ketua Komisi III Dewan Pers Indonesia), Benny Perwira (Into The Light Indonesia) dan Nurul Eka (Pekerja Sosial Independen Indonesia).
Dalam sambutannya, drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid mengatakan jika, ”Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang diperingati setiap 10 September”.
Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seluruh warga dunia akan pentingnya menjaga kesehatan jiwa.Dengan harapan dapat mencegah pikiran atau tindakan bunuh diri .
“Bunuh diri dapat dicegah, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pencegahan bunuh diri yang komprehensif melibatkan peran serta berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat,” ungkapnya secara virtual, Minggu (11/9/2022).
Oleh karena itu sangat penting untuk memberikan edukasi pada masyarakat awam. Khususnya dalam meningkatkan pengetahuan mengenai Gangguan Depresi Mayor (Major Depressive Disorder/MDD) dengan keinginan untuk bunuh diri .
Hal ini disampaikan oleh Devy Yheanne, selaku Communications & Public Affairs Leader of Johnson & Johnson Pharmaceutical Indonesia & Malaysia.
Edukasi ini setidaknya dapat menurunkan stigma negatif di masyarakat. Sehingga lebih banyak pasien yang berani untuk berkonsultasi dengan tenaga medis profesional di bidang kesehatan jiwa.
Pendidikan dan pengetahuan mengenai kesehatan jiwa sangat diperlukan untuk menghapus stigma negatif yang ada di masyarakat untuk mendukung kesembuhan pasien.
Berdasarkan temuan White Paper di wilayah Asia Pasifik bertajuk “Rising Social and Economic Cost of Major Depression: Seeing the Full Spectrum” kurang dari separuh pasien yang berjuang melawan Gangguan Depresi Mayor.
Di kawasan Asia Pasifik menerima diagnosis, yang tepat, dengan 71% pasien MDD menderita gejala yang memburuk, karena pengobatan tidak disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Ia pun menambahkankan jika data ini mengungkapkan bahwa Asia Pasifik memiliki tingkat penyakit depresi dan penyakit jiwa yang jauh lebih tinggi daripada bagian lain dunia.
Dokumen tersebut juga menyoroti bahwa orang yang hidup dengan depresi 40% kurang produktif daripada individu yang sehat. Sedangkan harapan hidup seseorang dengan MDD adalah 20 tahun lebih pendek dari rata-rata.
Dalam ilmu kedokteran jiwa atau psikiatri, untuk mendiagnosis seseorang mengalami gangguan depresi mayor perlu diketahui apa saja gejala-gejala yang dialami.
Gangguan depresi mayor tidak hanya merupakan gangguan emosional atau suasana hati, namun umumnya juga menunjukkan gejala, fisik, psikis dan sosial yang khas.
Beberapa gejala gangguan depresi mayor adalah rasa sedih yang terus menerus, pesimis, rasa tidak berdaya, gampang tersinggung, insomnia, sulit makan, menarik diri hingga melakukan usaha untuk bunuh diri .
Jika diri sendiri, keluarga atau ada teman yang mengalami gejala-gejala yang disebutkan di atas atau keinginan untuk bunuh diri , segeralah berkonsultasi pada tenaga kesehatan jiwa professional. Seperti psikiater, dokter umum, atau psikolog.