Wacana melegalkan ganja medis kembali mengemuka. Pakar UGM meminta semua pihak memahami, bahwa melegalkan ganja medis, tidak serta merta membuat tanaman ganja bisa ditanam tanpa aturan.
Suara tegas dari dari Prof Zullies Ikawati, guru besar farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, terkait desakan melegalkan ganja dalam kerangka medis. Dia tetap meyakini, tanaman ganja harus tetap masuk narkotika golongan satu, seperti aturan saat ini. Pelegalan yang bisa dilakukan, adalah terhadap unsur di dalamnya yang memiliki manfaat medis.
“Ganjanya sebagai tanaman tetap saja masuk golongan 1, dan itu kita bisa mengacu pada narkotika yang lain seperti morfin. Morfin itu kan obat, yang legal juga bisa diresepkan untuk nyeri kanker yang berat. Tetapi opiat-nya atau opium-nya, tanaman penghasilnya, itu masuk golongan 1,” kata Zullies, dalam diskusi Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis, Rabu (6/7).
Menetapkan tanaman ganja tetap sebagai narkotika golongan 1 penting, menurut Zullies, karena potensi penyimpangan sangat besar jika status itu diubah.
“Karena kalau misalnya masuk ke golongan 2 dan itu legal, banyak penumpang gelapnya nanti. Berapa persen sih, orang-orang yang membutuhkan ganja medis atau ganja yang benar-benar dibutuhkan untuk medis, dibandingkan dengan keseluruhan penggunaan ganja, sehingga itu nanti akan susah lagi untuk mengaturnya. Untuk membatasinya,” tambahnya.
Wacana Kembali Mengemuka
Perdebatan terkait ganja media bukan isu baru di Indonesia. Kali ini, wacana kembali muncul karena DPR sendiri sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Undang-Undang tentang Narkotika.
Dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) 28 Juni 2022, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyinggung persoalan legalisasi ganja untuk kesehatan. Selama ini, MUI telah memiliki fatwa yang melarang penggunaan ganja. Namun menurut Wapres, MUI perlu membuat pengecualian bagi kesehatan melalui fatwa baru yang mengatur kriteria kebolehan penggunaan ganja untuk kesehatan.
“Saya minta MUI nanti segera membuat fatwanya untuk dijadikan pedoman. Jangan sampai berlebihan dan menimbulkan kemudaratan,” kata Ma’ruf Amin dalam pernyataan resminya.
Dalam keterangan tertulis, Wakil Ketua Komisi IX DPR Charles Honoris menilai Indonesia harus sudah memulai kajian tentang manfaat tanaman ganja untuk kepentingan medis.
“Kajian medis yang obyektif ini akan menjadi legitimasi ilmiah, apakah program ganja medis perlu dilakukan di Indonesia,” papar Charles pada 28 Juni 2022.
Sementara anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo melihat wacana legalisasi ganja medis harus disikapi dengan penuh kehati-hatian, didasari kajian ilmiah komprehensif serta melibatkan segala unsur terkait, seperti medis dan psikolog. Menurutnya, perlu dikaji pula soal obat medis alternatif selain dari ganja. Jika memang terdapat pilihan lain dengan kemanfaatan yang sama, sehingga tidak harus menggunakan ganja.
“Terutama masukan dari dunia medis, tidak adakah obat medis di luar pemanfaatan ganja untuk penyakit tertentu. Bila tidak ada, kemungkinan opsi medis masuk akal,” tambahnya.
Sementara, dalam rapat dengar pendapat umum pada 30 Juni 2022 lalu, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J. Mahesa menyatakan akan membahas lebih lanjut persoalan ini dengan pemerintah.
“Komisi III DPR RI akan mempertimbangkan untuk menyarankan Pemerintah agar tanaman ganja disesuaikan dengan penggolongannya secara lebih tepat, sesuai dengan mekanisme ketentuan perundang-undangan,” kata dia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Minggu (3/7), juga membuat pernyataan yang membuka dilakukannya riset ganja untuk kepentingan medis, tetapi bukan untuk konsumsi.
Potensi Senyawa Cannabidiol
Guru Besar Farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati berkeyakinan, ganja sebagai tanaman sebaiknya tetap masuk sebagai narkotika golongan 1. Jika ingin mengambil manfaat medisnya, maka yang diatur adalah pemanfaatan senyawa cannabidiol di dalamnya. Senyawa ini tidak memiliki sifat psikoaktif dan bisa digunakan sebagai obat dengan berbagai uji klinis.
Meski begitu, proses legalisasi ganja untuk obat menurut Zullies harus tetap mengikuti kaidah pengembangan obat yang baku. Aturan-aturan terkait obat juga akan melekat pada obat yang berasal dari ganja.
“Kalau saya pribadi, say no untuk legalisasi ganja sebagai tanaman. Walaupun dengan alasan untuk memiliki tujuan medis, kalau saya. Tetapi komponen ganja yang bersifat obat, seperti cannabidiol mungkin bisa digunakan sebagai obat dan sebagai alternatif terakhir, jika memang itu tidak ada obat lain,” tegas Zullies.
Sementara pakar herbal dari UGM, Prof Suwijiyo Pramono, dalam diskusi ini menjelaskan, ada tiga jenis spesies tanaman ganja. Pertama adalah Cannabis sativa L yang biasa disebut mariyuana biasa tumbuh di daerah beriklim panas termasuk Indonesia. Kedua, Cannabis indica Lam atau Hemp yang tumbuh di wilayah dengan empat musim. Jenis ketiga adalah Cannabis ruderalis Janisch yang tidak begitu disebut karena ketersediaannya terbatas.
Pramono menjelaskan sejumlah perbedaan antara hemp dan mariyuana. Antara lain, kandungan tetrahydrocannabinol (THC) Hemp lebih rendah dari mariyuana. Kandungan THC dalam Hemp kurang dari 0,3 persen, sedangkan mariyuana mengandung lebih 20 persen. Sebaliknya, hemp memiliki kandungan cannabidiol (CBD) yang lebih besar, yaitu lebih dari 20 persen, sementara mariyuana kurang dari 10 persen.
“Ada 360 kandungan senyawa di dalam cannabis, namun yang utama dalam jumlah relatif tinggi itu adalah THC, tetrahydrocannabinol yang ini sifatnya halusinogen. Ini yang harus disingkiri. Kemudian ada cannabidiol itu non halusinogen, tidak membuat ketagihan, lalu ada cannabinol, ini intermediat,” papar Pramono.
Pramono menggolongkan Hemp sebagai ganja serat yang tidak mengakibatkan ketagihan. Sebaliknya, mariyuana masuk dalam ganja narkotik atau rekreasi yang menyebabkan ketagihan
Regulasi Lebih Penting
Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi III DPR, Selasa (5/7), Dekan Fakultas Hukum, Unika Atmajaya, Asmin Fransiska menyampaikan pandangan yang relatif berbeda terkait ganja medis. Dia mengingatkan seluruh pihak, agar hati-hati menggunakan istilah legalisasi, karena dalam kebijakan narkotika secara umum, kata Asmin, ada tahapan-tahapan yang harus dilewati.
“Pertama adalah kriminalisasi, yang sekarang terjadi di negara kita. Kedua adalah dekriminalisasi, mengeluarkan aspek-aspek hukuman bagi pengguna narkotika untuk kepentingan sendiri ataupun orang lain dalam kapasitas tertentu. Yang berikutnya adalah regulasi,” kata Asmin.
Asmin menambahkan, yang dilakukan oleh banyak negara untuk melakukan kontrol adalah menerapkan regulasi. Bentuknya, bisa dengan membolehkan penggunaan ganja medis dengan uji laboratorium terlebih dahulu, membuat ijin, hanya dijual di apotik tertentu dan untuk pasien tertentu. Terminologi yang dipakai bukan pengguna narkotika, tetapi pasien. Bentuk lain adalah seperti di Belanda atau Spanyol dengan klub-klub sosial untuk mengonsumsinya.
“Dan kalaupun Thailand sekarang misalnya menyerukan soal legalisasi, saya sangat yakin mereka punya regulasi tertentu. Sama seperti apabila kita sanggup meregulasi alkohol dan juga tembakau,” ujarnya.
“Dirkursus mengenai regulasi ini yang sepertinya hilang. Kita selalu ada dua kutub, satu kriminalisasi, yang satu kutub berikutnya adalah legalisasi,” tambah Asmin. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.