Seorang jurnalis video Jepang telah ditahan oleh pasukan keamanan di Myanmar sewaktu sedang meliput protes menentang pemerintah militer di kota terbesar di negara itu, kata para aktivis prodemokrasi, Minggu (31/7).
Toru Kubota, pembuat film dokumenter berbasis di Tokyo, ditangkap hari Sabtu oleh polisi berpakaian preman setelah protes kilat di Yangon, menurut Typ Fone, ketua kelompok Yangon Democratic Youth Strike, yang mengorganisasikan acara tersebut. Seperti kebanyakan aktivis, ia menggunakan nama samaran untuk melindungi diri dari otoritas militer.
Militer Myanmar merebut kekuasaan pada Februari tahun lalu dengan menyingkirkan pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi dan sejak itu telah menindak keras para pembangkang.
Menurut penghitungan rinci yang dilakukan Asosiasi Bantuan Bagi Tahanan Politik Myanmar, sedikitnya 2.138 warga sipil telah tewas oleh pasukan keamanan dan 14.917 ditahan sejak pengambilalihan oleh militer.
Pekan lalu, pemerintah militer menuai kritik internasional setelah mengumumkan telah menggantung empat aktivis yang divonis bersalah melakukan terorisme dalam persidangan rahasia.
Typ Fone mengatakan kepada Associated Press bahwa dua demonstran dalam protes hari Sabtu juga ditangkap dan ditahan di kantor polisi kota. Penangkapan itu juga dilaporkan oleh beberapa kelompok antipemerintah.
Wakil Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Seiji Kihara hari Senin (1/8) mengatakan “seorang lelaki warga negara Jepang berusia 20-an” ditangkap hari Sabtu sewaktu sedang merekam demonstrasi di Yangon dan bahwa ia sejak itu ditahan oleh polisi setempat. Kihara mengatakan para pejabat kedutaan Jepang telah meminta pembebasannya segera, sambil “melakukan yang terbaik” demi keselamatannya dan pengumpulan informasinya.
Seorang pejabat Kedutaan Besar Jepang mengatakan kepada Associated Press sebelumnya bahwa seorang warga negara Jepang dilaporkan ditahan tetapi menolak mengungkapkan rinciannya. Lelaki itu ditahan untuk diinterogasi di kantor polisi di Yangon dan kedutaan mengambil tindakan untuk membebaskannya, kata pejabat yang minta tidak disebutkan namanya karena tidak berwenang membagikan informasi kepada media.
Harian yang dikelola pemerintah, yang biasanya melaporkan tentang penangkapan demonstran prodemokrasi, tidak menyebut-nyebut hal ini.
Namun, akun promiliter di aplikasi pesan Telegram mengatakan lelaki Jepang itu ditangkap bukan karena mengambil gambar melainkan karena berpartisipasi dalam protes itu dengan membawa spanduk. Typ Fone mengatakan foto-foto Kubota dengan spanduk yang diunggah ke Telegram itu diambil setelah ia ditahan, mengindikasikan bahwa ini dilakukan di bawah tekanan.
Selama protes, sekitar selusin demonstran menyerukan slogan-slogan menentang pengambilalihan oleh militer, dan tidak lama kemudian, mereka menyebar ke tengah kerumunan orang di jalan-jalan sekitarnya.
“Ia mengambil foto dengan kameranya dari jarak dekat dari aksi protes kami kemarin,” kata Typ Fone mengenai Kubota. “Sewaktu kami menyelesaikan protes dan bubar, ia ditangkap oleh aparat keamanan berpakaian preman dan memasukkannya ke mobil Probox.” Kendaraan itu biasanya digunakan oleh taksi di Yangon. Typ Fone mengatakan mobil yang disebut itu juga memiliki tanda-tanda sebagai taksi.
Menurut portofolio mengenai pekerjaan Kubota, fokus utamanya adalah pada konflik etnik, isu-isu imigran dan pengungsi, dan ia telah berupaya menyoroti kondisi “komunitas yang terpinggirkan.” Disebutkan pula bahwa ia bekerja dengan berbagai perusahaan media seperti Yahoo! News Jepang, VICE Jepang dan Al Jazeera English. Seluruh jurnalisme independen di Myanmar praktis dilakukan dari pengasingan atau secara rahasia.
Pemerintah militer telah menangkap sekitar 140 wartawan, sekitar 55 di antaranya masih ditahan sambil menunggu dakwaan atau persidangan. Kubota adalah jurnalis asing kelima yang ditahan setelah warga AS Nathan Maung dan Danny Fenster, yang bekerja untuk publikasi lokal, serta wartawan lepas Robert Bociaga dari Polandia dan Yuki Kitazumi dari Jepang. Mereka semua pada akhirnya diusir.
Sebagian besar yang masih ditahan itu dikenai tuduhan menyebabkan ketakutan, menyebarkan berita palsu, atau melakukan agitasi terhadap pegawai pemerintah. Semua dakwaan itu disertai ancaman hukuman hingga tiga tahun penjara. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.