Dalam sambutannya di Wisma Tamu Negra Diaoyutai, Beijing, Selasa (26/7) sore, Jokowi mengatakan China adalah mitra strategis Indonesia. Hal tersebut, katanya, ditandai dengan peningkatan kerja sama yang saling menguntungkan antarkedua negara.
“Dalam pertemuan dengan Premier (perdana menteri, red) Li, saya berharap kita dapat membahas berbagai kerja kerja sama, khususnya di bidang perdagangan, investasi, infrastruktur, keuangan, pendanaan, serta maritim,” ungkap Presiden dalam siaran persnya.
Jokowi menambahkan, nilai perdagangan antara Indonesia dan China terus meningkat hingga melampaui $100 miliar. Mantan wali kota Solo ini berharap nilainya dapat terus ditingkatkan.
“Peluang untuk meningkatkan angka perdagangan sangat besar,” tuturnya.
Dalam pertemuan tersebut pihak China menyampaikan sejumlah komitmen untuk meningkatkan kerja sama ekonomi, yakni menambah impor minyak sawit mentah (CPO) sebanyak satu juta ton dari Indonesia. Selain itu, China, katanya, juga akan memprioritaskan impor produk pertanian dari Indonesia. Keduanya, juga sempat membahas kerja sama pembangunan Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan kunjungan Presiden Jokowi ke Beijing merupakan kunjungan pertama pemimpin dunia yang dilakukan setelah Olimpiade Musim Dingin di Beijing pada awal 2022.
“Fokus utama pertemuan kedua pemimpin adalah meningkatkan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan,” jelas Menlu Retno.
Diversifikasi Mitra Strategis
Sementara itu, pengamat ekonomi dari CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan, kerja sama perdagangan Indonesia dengan China merupakan yang paling besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Nilainya pun, katanya, meningkat dari waktu ke waktu. Dari sisi investasi, China juga sudah termasuk ke dalam lima besar negara yang paling banyak menanamkan modalnya di Tanah Air.
Muhammad mengungkapkan, yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia menurutnya adalah perluasan basis kerja sama perdagangan antar kedua negara. Menurutnya, komitmen China yang hanya menyebutkan peningkatan kerja sama di bidang komoditas tidak menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan.
Presiden Jokowi katanya harus membidik kerja sama yang bisa menghasilkan nilai tambah yang tinggi bagi Indonesia, seperti di bidang manufaktur.
“Yang jelas kita perlu membawa kerja sama ini kalau dari sisi ekonomi kepada benefit yang lebih strategis bagi kita, jadi bukan hanya kembali ke ekspor komoditas lagi, kembali ke CPO (crude palm oil, red) saja, itu mundur menurut saya. Walaupun kita punya kepentingan juga dari sisi ekspor. Tapi yang lebih strategi itu adalah yang lebih menambah nilai tambahnya lebih besar bagi kita, kemudian peran kita dalam perdagangan dunia ter-upgraded, terutama di manufaktur,” ungkapnya kepada VOA.
Menurutnya, perluasan basis kerja sama tersebut lebih bisa membantu Indonesia dalam mewujudkan transformasi ekonomi yang sering digadang-gadang oleh pemerintah sejauh ini.
Selain itu, katanya, yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah kondisi perekonomian China yang mulai cenderung melambat, di mana proyeksi pertumbuhan ekonominya akan berada di kisaran tiga persen, — lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai level 4-5 persen.
Menurutnya Indonesia harus mulai melakukan diversifikasi mitra dagang strategis, atau tidak bergantung terhadap suatu negara tertentu.
“Tapi yang jelas (kerja sama perdagangan dengan China) memang sangat besar, dan semakin lama semakin besar. di satu sisi itu mungkin bagus, tapi di sisi yang lain tidak bagus. Kita musti diversifikasi karena ketergantungan trade yang terlalu besar kepada suatu negara, lalu ketika negara tersebut ada masalah krisis atau seperti sekarang ekonomi China melambat jadi tiga persen, itu kita kena imbasnya lebih besar dibanding kalau kita lebih terdiversifikasi perdagangan kita,” pungkasnya. [gi/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.