Apa yang Terjadi Jika Putin Pakai Senjata Nuklir di Ukraina?

Apa yang Terjadi Jika Putin Pakai Senjata Nuklir di Ukraina?

Apa yang Terjadi Jika Putin Pakai Senjata Nuklir di Ukraina?

korannews.com – Ancaman yang dilontarkan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menggunakan senjata nuklir di Ukraina jika ‘integritas teritorial’ Moskow terancam, telah memicu diskusi mendalam di Barat soal bagaimana meresponsnya.

“Mereka yang berusaha memeras kami dengan senjata nuklir seharusnya mengetahui bahwa angin juga bisa berbelok ke arah mereka,” ucap Putin dengan nada memperingatkan, dalam pernyataan yang disampaikan pekan ini.

“Ini bukan gertakan,” tegas Putin.

Namun para pengamat tidak meyakini bahwa Putin bersedia menjadi yang pertama untuk mengerahkan senjata nuklir, sejak Amerika Serikat (AS) membombardir Jepang dengan nuklir tahun 1945 silam.

Sejumlah pakar dan pejabat membahas soal skenario-skenario yang mungkin terjadi jika Rusia sungguh-sungguh melancarkan serangan nuklir. Berikut skenario-skenario tersebut, seperti dilansir AFP, Sabtu (24/9/2022):

Seperti apa bentuk serangan nuklir Rusia?

Sejumlah analis memperkirakan Moskow kemungkinan akan mengerahkan satu atau lebih bom nuklir ‘taktis’ atau bom nuklir medan perang.

Bom nuklir jenis itu merupakan senjata kecil dengan daya ledak mencapai sekitar 0,3 kiloton hingga 100 kiloton, jika dibandingkan dengan hulu ledak strategis terbesar milik AS yang mencapai 1,2 megaton atau bom 58 megaton yang pernah diuji coba Rusia tahun 1961 silam.

Bom taktis dirancang untuk memiliki dampak terbatas di medan perang. Itu berbeda dengan senjata nuklir strategis yang dirancang untuk pertempuran dan memenangkan perang secara habis-habisan.

Namun demikian, istilah ‘kecil’ dan ‘terbatas’ itu relatif. Sebagai contoh, bom atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima, Jepang, tahun 1945 yang memiliki efek menghancurkan diketahui hanya berdaya ledak 15 kiloton.

Apa yang akan menjadi target Moskow?

Para analis menyebut tujuan Rusia dalam menggunakan bom nuklir taktis di Ukraina adalah untuk menakuti-nakuti Kiev hingga menyerah atau tunduk pada negosiasi, dan untuk memecah belah pendukung Barat di negara itu.

Pakar militer Program Keamanan Internasional CSIS, Mark Cancian, menilai Rusia kemungkinan tidak akan menggunakan senjata nuklir di garis depan pertempuran. Menguasai wilayah sejauh 32 kilometer akan membutuhkan 20 bom nuklir kecil — keuntungan kecil untuk risiko besar karena menggunakan senjata nuklir.

“Hanya menggunakan satu tidak akan cukup,” sebut Cancian.

Moskow justru dapat mengirimkan pesan kuat dan menghindari korban signifikan dengan meledakkan bom nuklir di atas air, atau meledakkannya di langit Ukraina untuk memicu gelombang elektromagnetik yang akan melumpuhkan peralatan elektronik.

Atau Putin bisa memilih kehancuran yang lebih besar dan kematian, yakni dengan menyerang pangkalan militer Ukraina, atau menyerang pusat perkotaan seperti Kiev, yang akan memicu korban massal dan mungkin membunuh pemimpin politik negara itu.

Skenario-skenario semacam itu, menurut mantan pakar kebijakan nuklir Gedung Putih Jon Wolfsthal, ‘kemungkinan akan dirancang untuk memecah aliansi NATO dan konsensus global melawan Putin’.

Haruskah Barat merespons dengan nuklir?

Barat tetap ambigu soal bagaimana akan merespons serangan nuklir taktis, dan pilihan responsnya sangat rumit. AS dan NATO tidak ingin terlihat lemah di depan ancaman nuklir terang-terangan.

Namun mereka juga ingin menghindari kemungkinan bahwa perang di Ukraina — bukan anggota NATO — bisa meningkat menjadi perang nuklir global yang jauh lebih luas dan menghancurkan.

Para pakar menyatakan Barat tidak memiliki opsi selain merespons, dan respons itu seharusnya datang dari NATO sebagai kelompok, bukan dari AS saja.

Wolfsthal menilai setiap respons harus bisa ‘memastikan bahwa situasi militer Putin tidak membaik dari serangan semacam itu, dan bahwa posisi politik, ekonomi, dan pribadinya menderita sebagai akibatnya’.

AS diketahui mengerahkan 100 senjata nuklir taktis miliknya di negara-negara NATO dan bisa merespons dengan cara yang sama terhadap pasukan Rusia. Hal itu, menurut Matthew Kroenig dari Atlantic Council, akan menunjukkan tekad dan mengingatkan Moskow soal bahaya dari tindakannya.

“Itu mungkin juga akan memprovokasi pembalasan nuklir Rusia, meningkatkan risiko pertukaran nuklir yang lebih besar dan bencana kemanusiaan lebih lanjut,” sebut Kroenig.

Risiko lainnya adalah beberapa negara anggota NATO mungkin menolak respons nuklir, yang akan mewujudkan tujuan Putin untuk melemahkan aliansi keamanan yang dipimpin AS itu.

Beri Ukraina kemampuan untuk menyerang Rusia?

Para pakar menilai bahwa untuk menjawab serangan nuklir Rusia dalam cara militer atau diplomatik yang lebih konvensional, dan memasok Ukraina dengan persenjataan lebih mematikan untuk menyerang Rusia, bisa menjadi lebih efektif.

“Penggunaan nuklir Rusia mungkin membuka peluang untuk meyakinkan negara-negara yang sejauh ini enggan — seperti India dan mungkin bahkan China — untuk berpartisipasi dalam peningkatan sanksi,” sebut Kroenig.

Selain itu, AS bisa menawarkan kepada Ukraina seperti pesawat NATO, rudal Patriot, baterai antirudal THAAD, dan rudal jarak jauh ATACMS yang bisa digunakan pasukan Ukraina untuk menyerang lebih dalam ke wilayah Rusia.

“Apapun batasan yang kita miliki pada pasukan Ukraina — dan saya pikir kita memiliki sejumlah batasan — saya pikir kita menghapus semuanya itu,” ucap Cancian.

error: Content is protected !!